Cerita dan Problema KTP-el di Riau
Data kependudukan adalah sesuatu yang rumit di Tanah Air ini. Sejak dicanangkan pada 2009 dan dimulai secara nasional pada 2011, sangat banyak persoalan yang melingkupi urusan kartu tanda penduduk elektronik ini. Di Riau, sejumlah kendala juga masih membelit program ini.
Sampai awal tahun 2019 atau delapan tahun sejak program diluncurkan, belum seluruh penduduk Indonesia memiliki kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Bahkan, di lima daerah, yaitu Sulawesi Barat, Maluku Utara, Maluku, Papua, dan Papua Barat, persentase warga yang merekam data KTP-el belum mencapai 85 persen.
Persoalannya bukan hanya rekaman data. Penduduk yang sudah merekam data pun tidak segera mendapat KTP-el. Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Kementerian Dalam Negeri mencatat, sampai Desember 2018, sebanyak 1,2 juta warga Indonesia belum mendapat KTP-el meski sudah merekam data.
Cerita dan problema kepengurusan KTP-el juga terjadi di Provinsi Riau. Menurut Kepala Dinas Kependudukan, Pencatatan Sipil, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Riau Andra Syafril, 3,99 persen penduduk Riau belum melakukan perekaman KTP-el.
Total penduduk Riau yang wajib memiliki KTP–el 4.186.189 jiwa. Adapun yang telah merekam data 4.019.084 jiwa. Artinya, 167.105 penduduk Riau belum merekam data.
Adapun warga yang sudah merekam data, tapi belum mendapat KTP-el jumlahnya juga tidak sedikit. Menurut Andra, 130.000 orang yang sudah merekam data belum mendapat KTP-el. Sebagian besar warga itu sudah merekam data lebih dari tiga bulan. Bahkan, tidak sedikit yang telah menunggu lebih dari satu tahun.
Nadya Safira, remaja asal Pekanbaru yang dijumpai di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kota Pekanbaru, mengatakan, ia sudah merekam data sejak Juni 2017. Namun, sampai Februari 2019, atau 2,5 tahun berlalu, KTP-el-nya belum juga selesai.
Sudah beberapa kali Nadya bersama ibunya mendatangi kantor Dinas Dukcapil, tapi belum juga ada jawaban yang diharapkan. Petugas kantor Dinas Dukcapil pun tidak dapat memastikan kapan KTP-el Nadya dapat dicetak.
Ibu Nadya mencoba mencari tahu permasalahan keterlambatan pencetakan KTP-el dimaksud kepada seorang petugas yang dikenalnya. Setelah beberapa saat, petugas itu menyatakan nama Nadya sudah berada di daftar tunggu pencetakan kartu.
”Tunggu saja. Nanti kalau sudah dicetak akan ada pemberitahuan,” kata petugas itu.
Namun, Nadya dan ibunya ternyata sudah ”kenyang” dengan janji-janji seperti itu. ”Sudah lebih tiga kali kami datang ke sini (Dukcapil), tapi jawabannya selalu diminta sabar menunggu,” kata ibu Nadya.
Maridana (50), karyawan swasta di Pekanbaru, mengaku sudah merekam data bersama suaminya pada Februari 2018 atau setahun lalu di Kecamatan Tenayan Raya. Namun, sampai awal Februari 2019, KTP-el belum juga selesai.
Ketika mempertanyakan masalah itu di kecamatan, petugas loket bernama Adrijon mengatakan, data pasangan tersebut ternyata belum terekam. Hal itu disebabkan mesin data di Tenayan Raya rusak. Adrijon pun meminta pasangan itu merekam ulang data di Kecamatan Lima Puluh.
Kalau cuma satu tahun itu biasa. Masih banyak orang menunggu selama dua tahun, bahkan tiga tahun belum juga mendapat KTP-el.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Dinas Dukcapil Kecamatan Tenayan Raya, Pekanbaru, Sri Indrawati mengakui, pencetakan KTP-el memang bermasalah. Ia mengatakan, masih ada warga yang belum mendapat KTP–el meskipun sudah melakukan perekaman data sejak tiga tahun lalu.
”Kalau cuma satu tahun itu biasa. Masih banyak orang menunggu selama dua tahun, bahkan tiga tahun belum juga mendapat KTP-el. Persoalan itu bukan hanya terjadi di sini, melainkan secara nasional,” kata Sri.
Kepala Bidang Fasilitasi Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil Dinas Dukcapil, Pengendalian Penduduk, dan Keluarga Berencana Riau Dwi Setiawati mengungkapkan, warga yang mengalami masalah pencetakan KTP sebenarnya dapat menggunakan saluran pengaduan yang tersedia di setiap kantor Dukcapil kabupaten dan kota. Dari pengaduan itu, nantinya akan ditelusuri masalahnya.
”Ada kalanya masalah justru disebabkan oleh warga sendiri. Misalnya, ada keluarga yang pindah dari lokasi lama ke Riau tanpa prosedur resmi. Ketika keluarga itu melakukan perekaman KTP-el di Riau, secara otomatis terjadi penolakan di mesin program pendataan karena nomor induk kependudukan ganda. Selama belum ada proses pindah resmi dari daerah asal, KTP-el tidak mungkin dapat dicetak,” kata Dwi.
Menurut Andra Syafril, persoalan pencetakan KTP-el sebenarnya tidak rumit, tetapi diakuinya memiliki kendala. Untuk warga yang sudah merekam data, mesin pendataan akan memberi tanda ”siap untuk dicetak”. Hanya saja, pencetakan tidak dapat dilakukan sekaligus karena kendala jumlah blangko yang tidak mencukupi. Ada antrean yang harus dilewati.
”Persoalannya, ketika sudah dalam antrean, kadang pencetakan tidak dapat dilakukan karena blangko KTP-el tidak tersedia. Ada pula kasus akibat mesin pencetak rusak. Misalnya, di Kabupaten Pelalawan, mesin cetak KTP-el rusak dan harus menunggu perbaikan selama satu tahun. Makanya, persentase KTP–el di Pelalawan termasuk rendah untuk rata-rata Riau yang sudah di atas 96 persen,” kata Andra.
Tentang pengadaan blangko KTP-el, kata Andra, dapat diatasi dengan kemauan atau inisiatif daerah. Kalau pejabat Dinas Dukcapil mau ”menjemput bola”, ketersediaan blangko KTP-el dapat dipenuhi, paling tidak dapat diminimalisasi kekurangannya.
Sekarang ini, ongkos membawa blangko KTP-el semakin membesar karena maskapai penerbangan menaikkan biaya bagasi.
”Direktorat Jenderal Dukcapil di Jakarta selalu terbuka atas permintaan blangko KTP-el dari daerah. Saya biasanya menyurati dan datang langsung ke Jakarta. Pekan ini saya mendapat tambahan 10 outer (sebanyak 20.000 lembar blangko) yang akan saya bagikan kepada daerah yang memerlukan, seperti Pelalawan dan Kampar,” kata Andra.
Meski demikian, Andra mengakui, inisiatif mendatangi Ditjen Dukcapil di Jakarta memerlukan biaya. Sayangnya, perjalanan dinas seperti yang dilakukannya selama ini tidak dibekali anggaran transportasi atau diganti oleh negara.
Sekarang ini, ongkos membawa blangko KTP-el semakin membesar karena maskapai penerbangan menaikkan biaya bagasi. Andra pun mulai pusing memikirkan biaya transportasi itu. ”Saya sudah meminta agar Ditjen Dukcapil mencari solusi keringanan biaya itu,” kata Andra.