Eka Putra Wirya Penempa Grand Master Indonesia
Cinta akan catur mendorong Eka Putra Wirya memfasilitasi para pecatur Indonesia mencapai jenjang prestasi tertinggi. Utut Adianto menjadi grand master super, Susanto Megaranto menjadi grand master, Irene Kharisma Sukandar dan Medina Warda Aulia menjadi woman grand master berkat sistem pembinaan yang disiapkannya. Atas pengabdiannya selama 27 tahun, Eka diberi penghargaan Life Time Achievement dari Seksi Wartawan Olah Raga PWI, Jumat (8/1/2019) di Surabaya.
Pekan lalu, Eka menunggui seleksi pecatur nasional yang akan dipanggil ke pemusatan latihan nasional guna menghadapi SEA Games 2019 Filipina. Di sela-sela kesibukannya sebagai pengusaha, Eka masih menyempatkan diri untuk memotivasi para pecatur nasional yang berlaga di Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA) yang didirikannya.
Kiprah Eka di dunia catur tanah air dimulai seusai dia menjadi master nasional pada Piala Habibie 1991. Pada 1992, Eka diajak untuk masuk dalam kepengurusan Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi).
Eka menyadari, olah raga catur tidak populer di mata masyarakat Indonesia saat itu. Prestasi Indonesia juga tidak bagus di tingkat dunia. Oleh karena itu, Eka berniat membuat sebuah terobosan bersama Utut Adianto, yang saat itu sudah menjadi Grand Master (GM).
“Indonesia akan hebat jika kita memiliki bintang dalam catur. Yang menginspirasi di dalam negeri dan dikagumi di luar negeri. Anda harus menjadi GM Super,” kata Eka, kepada Utut Adianto saat itu. GM super adalah istilah bagi GM yang memiliki rating di atas 2.600 poin
Utut setuju dengan usul Eka dan segera mengundurkan diri dari perusahaan Bimantara tempatnya bekerja. Karena pemerintah dan Percasi tidak mau membiayai mimpi besar itu, Eka berinisiatif untuk mengeluarkan dana pribadi guna membiayai Utut untuk ikut berbagai turnamen internasional.
Usaha itu tidak sia-sia. Dalam waktu sekitar tiga tahun, Utut sudah melejit menjadi GM super dan menempati posisi 37 dunia. Utut mulai diperhitungkan di level internasional dan membuat dunia catur Indonesia bergairah lagi.
Eka juga mengundang beberapa GM senior untuk menjadi pelatih bagi Utut dengan biaya sendiri. Untuk meningkatkan kualitas permainan dan meroketkan nama Utut, Eka juga mengelar dwitarung internasional, dengan memanggil pecatur-pecatur papan atas dunia ke Indonesia setiap tahun.
Pada 1994, GM Yasser Seirawan dari Amerika Serikat ditandingkan melawan Utut di Indonesia. Pada 1995, giliran GM Nigel Short dari Inggris yang diundang. Pada kedua ajang dwitarung itu, Utut kalah.
Pada 1996, pecatur perempuan Hungaria GM Judith Polgar yang ditantang Utut. Puncaknya, pada 1997, juara dunia GM Anatoly Karpov diadu melawan Utut. Peningkatan kemampuan membuat Utut menahan remis kedua lawannya itu.
Saat Utut sedang menapaki jalan ke puncak, Eka mulai menyiapkan pembinaan catur dengan metode yang ilmiah. Pada 1993, Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA) mulai dibangun.
“Saya chef de mission kontingen Indonesia pada Olimpiade Catur 1992. Di situ saya melihat, semua pecatur dunia membawa laptop untuk mempelajari basis data lawan. Saya jadi mengerti, Indonesia harus mempunyai sekolah catur yang ilmiah untuk mendidik para pecatur hebat,” kata Eka.
Untuk menyiapkan penerus Utut, Eka dan para pengurus Percasi menyiapkan program “Dream Team”. Sepuluh pecatur muda, termasuk Susanto Megaranto, didik dengan intensif dan diikutkan ke berbagai turnamen internasional.
Pendanaan Percasi yang terbatas membuat Eka terus menguras kantungnya untuk membiayai para pecatur muda. Membiayai Utut dan membiayai para pecatur muda itu bukan perkara yang mudah bagi Eka.
Saat itu, Eka masih bekerja pada perusahaan ayahnya, yang kini berkembang menjadi Ekatama Group. Eka meyakinkan ayahnya untuk mau ikut membiayai perkembangan catur Indonesia.
Ayahanda Eka tidak berkeberatan untuk ikut mengeluarkan dana besar karena Eka membuktikan kerja kerasnya berbuah positif. Pada sisi bisnis, perusahaan ayahnya kian maju. Pada dunia catur, Utut menjadi grand master super yang diperhitungkan di dunia.
Program “Dream Team” yang dimulai pada 1995 juga menampakkan hasil positif. Pada Olimpiade Catur U-21 tahun 2001, tim Indonesia meraih medali perunggu dengan menjadi juara ketiga.
Pada 2004, Susanto Megaranto menjadi grand master termuda pada usia 17 tahun dan mengalahkan rekor Utut Adianto, empat tahun lebih cepat. Kehadiran GM baru membuat dunia catur Indonesia semakin bergairah.
Para pecatur muda yang berbakat bermunculan. Salah satu yang fenomenal adalah kehadiran Irene Kharisma Sukandar. Di bawah bimbingan SCUA dan program pelatihan yang disusun Eka, Irene menjadi Woman Grand Master (WGM) pertama di Indonesia pada 2009.
Setelah Irene, giliran Medina Warda Aulia yang mendapat perhatian dari Eka. Medina juga mendapat pelatihan intensif dan difasilitasi untuk mengikuti berbagai turnamen internasional dan akhirnya menjadi WGM kedua Indonesia pada 2013.
“Jika melihat pecatur berbakat, saya selalu ingin membinanya sampai menjadi grand master. Saya senang jika ada pecatur Indonesia yang mencapai puncak,” kata Eka.
Komitmen itu kembali dibuktikan Eka saat mendapatkan pecatur berbakat Samantha Edithso. Samantha diikutkan ke berbagai turnamen internasional, termasuk menjadi pecatur termuda dalam Olimpiade Catur 2018. Samantha juga menjadi juara dunia U-10 pada 2018.
Menurut Eka, kecintaannya terhadap dunia catur dimulai sejak usia kelas satu SD. Pada saat kuliah, Eka merintis klub catur di Universitas Trisakti dan mulai aktif mengikuti berbagai turnamen nasional.
Keikutsertaannya di berbagai turnamen itu yang membuat Eka paham, permainan catur berdampak luas pada berbagai sisi kehidupan.
“Dalam bisnis, catur sangat membantu untuk menghitung berbagai kemungkinan sebelum mengambil risiko. Dalam dunia pendidikan, catur juga membantu siswa untuk konsentrasi dan berhitung. Suatu bangsa yang olah raga caturnya maju, biasanya teknologinya juga maju. China, India, dan Rusia adalah salah contoh-contoh yang nyata. Saya juga ingin bangsa Indonesia maju,” kata Eka.
Eka mengaku, dirinya juga menikmati efek samping positif dari memajukan dunia catur Indonesia. Para pecatur yang datang dari keluarga kurang mampu, kini dapat hidup layak berkat permainan catur.
“Yang paling menyenangkan bagi saya adalah melihat banyak pemain catur yang bisa hidup layak, di mana awalnya mereka hidup dengan kesulitan,” kata Eka.
Eka Putra Wirya
Lahir : Jakarta 17 Maret 1959
Istri : Rini Angarini (54)
Anak : Christian Wirya (32)
Nita Nathania Wirya (25)
Pekerjaan : Presiden Direktur PT Ekatama Putra Perkasa
Pendidikan :
SD Candra Naya (Lulus 1971)
SMPK 1 Pintu Air, Jakarta Barat (Lulus 1974)
SMAK 1 Pintu Air, Jakarta Barat (Lulus 1977)
Universitas Trisakti, Jurusan Teknik Sipil (lulus 1984)
Penghargaan :
- Pembina Olahraga Terbaik 1995 versi Kompas
- Pembina Olahraga Terbaik 1995 versi Tribun Olahraga
- Pembina Olahraga Terbaik 1995 versi Suara Pembaruan
- Pembina Olahraga Terbaik 1995 versi Siwo PWI Jaya
- Bintang Jasa Adi Manggalya Krida 1996 dari Presiden Republik Indonesia
- Satya Karya Bina Olahraga 2000 dari KONI
- Golden Award Lifetime Achievement 2019 dari Siwo PWI