JAKARTA, KOMPAS — Sektor perkapalan nasional dinilai sejumlah kalangan belum siap untuk mengekspor minyak kelapa sawit. Padahal, minyak kelapa sawit menjadi komoditas yang diunggulkan pemerintah untuk mendorong ekspor.
”Kesiapan dari kapal nasional itu belum banyak yang spesifik untuk vegetables oil cargo. Ada banyak kapal tangki milik Indonesia, tetapi untuk mengangkut minyak bumi, bukan minyak kelapa sawit secara khusus,” kata Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan dan Keberlanjutan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sitanggang saat dihubungi Kompas, Kamis (14/2/2019).
Menurut Togar, besaran kapasitas kapal pun terbatas. Persoalan lainnya, ketika mengekspor, bukan hanya minyak kelapa sawit yang diekspor, melainkan juga ada jenis lainnya. ”Satu kapal itu bisa campur dengan chemical dan jenis minyak lainnya. Belum tentu juga hanya berasal dari Indonesia,” ujarnya.
Togar menilai, kalau memang diwajibkan menggunakan kapal dalam negeri, maka yang harus dilakukan pertama adalah memperkuat industri perkapalan nasional secara internasional. ”Industri perkapalan nasional harus menunjukkan kegigihannya dahulu baru bisa kami pakai. Jangan kami diwajibkan pakai, tetapi enggak bisa ekspor ke mana-mana yang akhirnya merugikan negara,” ujarnya.
Policy analyst dari Indonesia Services Dialogue, Muhammad Syarif Hidayatullah, juga menilai demikian. Menurut dia, wajar jika para pelaku usaha minyak kelapa sawit lebih memilih kapal asing.
Selain itu, kualitas kapal pengangkutan pun belum mumpuni. Syarif mengatakan, berbicara CPO berarti merupakan hasil pengolahan yang harus dijaga kualitas dan kemurniannya. ”Ada beberapa pelaku usaha yang mengatakan kualitas pengangkutan kapal dalam negeri belum food grade. Maka, belum menjamin kualitas CPO akan tetap sama ketika sampai ke pelabuhan tujuan,” katanya.
Sementara itu, untuk mendukung penggunaan kapal dalam negeri, Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2018 tentang Ketentuan Penggunaan Angkutan Laut dan Asuransi Nasional untuk Ekspor dan Impor Barang Tertentu.
Dalam Pasal 3 Ayat (1a) disebutkan, eksportir yang mengekspor batubara dan/atau minyak kelapa sawit wajib memenuhi ketentuan untuk menggunakan angkutan laut yang dikuasai oleh perusahaan angkutan laut nasional. Selain itu, Pasal 13 Ayat (1) mengatakan, ketentuan mengenai penggunaan angkutan laut untuk ekspor dan impor barang tertentu mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 2020.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengatakan, pemberlakuan ini memang untuk mendorong perbaikan sektor transportasi dan logistik. ”Meski demikian, kami masih dalam tahap pembahasan bagaimana memperkuat industri perkapalan ini,” ujarnya.
Perkuat industri perkapalan
Memang ke depan Indonesia tidak dapat terus mengandalkan perkapalan asing. Syarif mengemukakan, perlu ada investasi baru di sektor pengangkutan. ”Apakah membuka investasi dari luar atau mendorong perbankan untuk membiayai investasi baru di bidang pengangkutan,” katanya.
Selain itu, perlu adanya alternatif pembiayaan yang dipakai untuk mendorong industri perkapalan kembali menggeliat. Sebab, saat ini satu kapal kargo membutuhkan biaya yang besar sehingga diperlukan banyak armada untuk jaringan transportasi yang efisien.
Perlu adanya alternatif pembiayaan yang dipakai untuk mendorong industri perkapalan dalam negeri kembali menggeliat.
Sejalan dengan itu, Kepala Bidang Kelembagaan Logistik Nasional Kementerian Koordinator Perekonomian Farah Heliantina menyampaikan hal senada. Pemerintah bersama dengan pelaku jasa angkutan laut sedang membahas ekosistem yang mendorong tumbuhnya sektor jasa angkutan laut nasional.
”Ekosistem yang mendorong tumbuhnya sektor jasa angkutan laut nasional ialah perpajakan, skema pembiayaan, kepastian kontrak atau muatan jangka panjang, dan regulasi,” ujar Farah.
Menurut dia, dengan perbaikan ekosistem itu diharapkan akan menarik para investor baru, baik investor dalam negeri maupun luar negeri, untuk mendorong peningkatan daya saing sektor jasa angkutan laut nasional.
Peluang ekspor
Data neraca pembayaran terbaru menunjukkan defisit neraca jasa menurun dari 7,3 miliar dollar AS (2017) menjadi 7,1 miliar dollar AS (2018). Syarif menilai, hal ini disebabkan oleh pertumbuhan ekspor jasa lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan impor jasa. ”Ekspor jasa tumbuh sebesar 10,28 persen, sedangkan impor jasa hanya tumbuh 7,11 persen,” ujarnya.
Meski ada perbaikan, sektor jasa masih defisit. Bank Dunia mencatat, defisit terbesar disumbang oleh sektor jasa transportasi dan logistik. Pada 2005, sektor ini menyumbang defisit lebih dari 4 miliar dollar AS. Jumlah itu terus meningkat dan mencapai lebih dari 6 miliar dollar AS pada 2017.
Syarif mengatakan, kalau berbicara mengenai neraca jasa yang defisit karena sektor transportasi dan logistik, maka perlu dilihat dari sisi lain juga.
”Misalnya, kita mengimpor bahan baku pendukung industri dengan menggunakan kapal asing. Memang ada defisit, tetapi masih dinilai baik karena bisa mendukung produksi dalam negeri,” kata Syarif.
Dalam hal ini, transportasi berfungsi sebagai pendukung proses produksi. Dengan demikian, ketika berbicara defisit, itu tidak semata-mata suatu masalah. Keadaan ini menunjukkan perdagangan Indonesia sedang menggeliat. ”Hal ini juga menunjukkan sinyal positif bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia,” ujar Syarif.