Kekerasan Remaja yang ”Istimewa” di Daerah Istimewa Yogyakarta
Tiga remaja di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, ditangkap polisi karena melakukan pelemparan batu kepada sejumlah kendaraan bermotor. Apakah ada kampanye ? Atau ada pertandingan sepak bola antarklub yang biasanya diwarnai bentrok suporter ? Tidak ada. Polisi mengatakan, tindakan remaja itu tidak ada alasan yang khusus. Mereka senang dan bangga kalau tindakan itu lantas muncul dalam media sosial.
”Yang bersangkutan mengikuti salah satu grup di media sosial yang sering mengunggah peristiwa-peristiwa semacam ini. Dia merasa bangga ketika perbuatan kriminalnya diunggah di media sosial,” kata Kepala Bidang Humas Kepolisian Daerah DIY Ajun Komisaris Besar Yuliyanto kepada wartawan di Sleman, Rabu (13/2/2019). Polisi menyebut tiga remaja itu berinisial D (16), R (16), dan S (18).
Kepala Polsek Mlati Komisaris Yugi Bayu Hendarto mengungkapkan, peristiwa itu terjadi pada Minggu (3/2/2019) pukul 02.00. Ketiga tersangka ditangkap aparat kepolisian enam hari kemudian.
”Ketiga anak ini awalnya berkumpul-kumpul di Lapangan Tirtoadi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lalu, mereka minum minuman keras dan merencanakan untuk berbuat gaduh. Mereka memutuskan buat memecahkan kaca mobil,” kata Yugi.
Yugi menyampaikan, tidak ada korban luka ataupun korban jiwa yang jatuh dalam peristiwa tersebut. Para korban dipilih secara acak di jalanan oleh para tersangka.
”Mobil yang dilempari itu dalam kondisi berjalan. Tidak ada korban luka. Hanya, kaca mobilnya pecah. Mobil yang dilempari itu yang berjalan agak di tengah,” kata Yugi.
Baca juga: Empat Pelaku ”Klithih” di Sleman Dibekuk
Ada dua sepeda motor yang digunakan oleh para tersangka saat beraksi. D berperan sebagai pelempar batu, sedangkan R bertugas memboncengkan D. Sementara S mengawasi aksi pelemparan yang dilakukan dua tersangka lainnya. Kendaraan yang mereka lempari itu mulai dari mobil, truk, hingga sepeda motor.
Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Sleman Ajun Komisaris Anggaito Hadi Prabowo menyatakan, aksi pelemparan batu tersebut terjadi di sembilan lokasi lokasi di wilayah Sleman, DIY. Semuanya dilakukan dalam satu malam yang sama.
Yugi menyampaikan, tidak ada korban luka ataupun korban jiwa yang jatuh dalam peristiwa tersebut. Para korban dipilih secara acak di jalanan oleh para tersangka.
”Ini ada 9 lokasi kejadian. Sebanyak 5 lokasi ada di Kecamatan Mlati, 2 lokasi ada di Kecamatan Godean, dan 2 lokasi lagi ada di Kecamatan Seyegan,” ujar Anggaito.
Ketiga tersangka mengaku melakukan aksi tersebut sebagai bentuk pelampiasan emosi. Hal itu disebabkan berbagai permasalahan yang mereka alami. Ada yang bermasalah dengan teman sepermainannya, ada pula yang bermasalah dengan keluarganya.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Komisaris Besar Hadi Utomo menyatakan, kekerasan sebagai bentuk pelampiasan emosi tidak bisa dibenarkan. Proses hukum terhadap ketiga tersangka bakal dijalankan secara tegas agar menimbulkan efek jera sehingga kejadian serupa tidak terulang lagi. ”Kami tidak akan menoleransi kejahatan jalanan,” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Yayasan Perlindungan Anak DIY Sarimurti Widiyastuti mengatakan, aksi kekerasan yang dilakukan anak tidak bisa dicegah hanya dengan penindakan hukum. Pendekatan yang komprehensif diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
”Harus ada pendekatan psikososial yang diikuti dengan upaya membangun ketahanan keluarga juga. Sebab, biasanya, anak yang menjadi pelaku kekerasan itu merasa tidak menemukan kehangatan di keluarganya,” kata Sarimurti.
Ia menambahkan, tidak ditemukannya kehangatan keluarga membuat seorang anak mencari alternatif komunitas lain yang membuat anak itu bisa merasa nyaman. Di komunitas tersebut ada nilai tentang kekerasan yang ditanamkan kepada anak tersebut.
”Ini menjadi bibit yang kemudian mereka yakini, bahwa melakukan sesuatu yang bersifat kekerasan itu heroik, sehingga mereka merasa hebat. Jadi, pelaku kekerasan terkadang tidak merasa menyesal, tetapi justru merasa bangga,” kata Sarimurti.
Hukum tegas
Suprapto, sosiolog kriminal dari Universitas Gadjah Mada, mengatakan, ada hal yang membuat anak merasa terlindungi saat melakukan tindak kekerasan sehingga perbuatan itu terkesan dilanggengkan. Ada pihak yang memanfaatkan kondisi emosi anak yang masih labil untuk melakukan kekerasan.
”Setidaknya anak pelaku kekerasan merasa punya pelindung. Dalam melakukan aksi-aksi itu, dia merasa aman. Selain itu, tingkat kecerdasan emosinya masih rendah sehingga dia seolah meluapkan emosinya dengan cara kekerasan. Terlebih lagi ada yang menyulut mereka untuk melakukan tindakan kekerasan,” tutur Suprapto.
Dia menambahkan, persoalan mendasar yang membuat anak menjadi pelaku kekerasan adalah keluarga tidak menjalankan fungsinya sebagai pendidik. Anak tidak mendapatkan pelajaran tentang nilai dan norma sosial tentang bagaimana seharusnya bersikap di lingkungannya. Anak juga harus merasa terlindungi di keluarganya agar ia tak perlu mencari alternatif kelompok sosial lain yang bisa mengarahkannya pada tindak kekerasan.
”Artinya, sosialisasi norma dan budaya masih lemah sehingga mereka melanggar nilai-nilai tersebut. Keluarga juga seharusnya mengontrol anaknya sehingga tahu pertemanan anaknya, tahu juga semisal anak itu berkeliaran pada jam-jam yang tidak seharusnya. Perlindungan anak dari kekerasan bermula dari keluarga,” Suprapto.
Ia menilai, hukuman tegas terhadap anak yang menjadi pelaku kekerasan jalanan tetap diperlukan. Hal itu diharapkan mampu memberikan efek jera agar tidak ada lagi anak atau remaja yang berani berbuat kekerasan di jalanan.
”Jadi, kalau memang sudah ada hukuman tegas, anak itu akan berpikir berulang kali untuk melakukan aksi kekerasan. Penindakan hukum tegas ini perlu supaya ada efek jera. Apalagi yang membuat korbannya terluka, cedera, hingga meninggal,” katanya.
Tindakan tanpa alasan?
Polisi mengatakan, tidak ada alasan khusus mengapa remaja itu melempari kendaraan bermotor dengan batu. Maksudnya mungkin remaja itu melempar batu bukan karena dendam atau berkeinginan merampok kendaraan. Sepintas tampak tidak ada motivasi kriminal. Mereka hanya ingin tindakan itu terekspos di media sosial.
Jadi, motivasi tindakan remaja DIY itu ”istimewa”, dalam arti tidak sama dengan kejahatan yang lain. Penjahat melakukan tindakan juga tidak ingin diketahui orang lain, tetapi remaja itu melakukannya bahkan untuk tujuan disebarkan agar orang lain tahu.
Itulah yang banyak terjadi di kalangan remaja DIY dalam lima tahun terakhir ini. Harian Kompas pernah menurunkan laporan ini di halaman satu dengan judul ”Aksi Klithih, Mereka Sama-sama Jadi Korban” (25/3/2017). Laporan itu, antara lain, mengenalkan istilah klithih.
Dari mana asal kata klithih? Bisa jadi kata itu penggalan dari klithah-klithih, yang menurut Kamus Bahasa Jawa karangan SA Mangunsuwito berarti ’berjalan bolak-balik agak kebingungan’. Dengan sedikit modifikasi arti, klithih adalah perbuatan sekelompok remaja yang berkeliling kota atau kabupaten dengan naik sepeda motor dan berbuat kriminal kepada pengendara motor lain. Mereka berkeliling dengan sepeda motor tidak kebingungan, tetapi sudah mempunyai target kejahatan.
Menurut polisi, anggota geng yang bisa merampas barang geng lain akan dianggap lebih jago. Anggota yang mampu merampas pakaian seragam dianggap lebih hebat ketimbang yang hanya mengambil stiker. Dalam klithih, ada alasan bertindak kekerasan untuk merampas motor, bukan untuk dijual atau dimiliki, tetapi untuk membuktikan bahwa remaja itu pantas atau bisa diterima dalam sebuah geng.
Ada cerita menarik ketika Kompas bertemu dengan mantan anggota geng yang kini menjadi salah satu mahasiswa di perguruan tinggi di Yogyakarta. Jumat (17/3/2017) siang, di sudut sebuah kampus di Yogyakarta, pemuda itu, sebut saja Adam (21), mengaku mengenal geng pelajar di sekolahnya secara tak sengaja.
Saat menjadi siswa baru di sebuah SMK di Yogyakarta, ia diserang sekelompok pelajar sekolah lain. ”Waktu itu, sepulang masa orientasi siswa baru hari kedua, saya diserang. Ada yang nyabet pakai pedang, tetapi untung kena motor saya,” katanya.
Mendapat serangan semacam itu, Adam menghubungi kakak kelasnya. Tak lama kemudian, rombongan kakak kelas Adam datang untuk membantu. ”Sejak saat itu, saya merasa punya utang budi, lalu saya ’ditarik’ ikut kelompok mereka,” ujarnya.
”Sekitar dua minggu kemudian, saya diajak ikut sebuah forum dan baru kemudian tahu ternyata kelompok ini adalah geng,” katanya.
Saat klithih, kata Adam, anggota geng sekolah ini biasanya dibagi ke dalam peran tertentu. Ada yang berperan sebagai rider atau pengendara paling depan yang memimpin rombongan. Ada yang menjadi kiper dengan tugas mengawasi rombongan dari jarak agak jauh, lalu mencari bantuan jika ada masalah.
Sebagai anggota geng, Adam beberapa kali menerima konsekuensi dari aksi klithih yang diikutinya. Pada 2013, misalnya, saat gengnya berkelahi dengan geng sekolah lain, punggung Adam terluka terkena sabetan gir sepeda motor. Saat itu, sepeda motornya juga rusak dan ditahan polisi sebagai barang bukti.
Menurut Adam, klithih dilakukan untuk membesarkan nama geng agar dikenal dan dihormati geng lain. Saat mengikuti klithih, Adam mengaku tak berpikir panjang dan mempertimbangkan konsekuensi atas perbuatannya.
Mantan anggota geng SMA swasta di Yogyakarta yang lain, sebut saja Sandi (20), mengaku berkali-kali mengikuti klithih. Sandi menuturkan, di sekolahnya, pelajar yang tidak ikut geng kerap disepelekan karena dianggap tak punya nyali. ”Makanya, kami jadi enggak nyaman di sekolah (jika tidak ikut geng),” ucapnya.
Faktor terbesar
Sapto Nugroho Wusono, pengacara dari Yayasan Lembaga Perlindungan Anak DIY, yang sering mendampingi pelaku klithih dalam proses hukum, mengatakan, faktor terbesar yang mendorong remaja terlibat klithih adalah pergaulan dengan teman sebaya. ”Saat ditanya alasan melakukan kekerasan, rata-rata mengatakan karena solidaritas kelompok,” ujar Sapto.
Dari data profil pelajar yang melakukan klithih, rata-rata mereka punya banyak masalah di sekolah, misalnya rapor jelek, tidak naik kelas, atau pindah sekolah beberapa kali. Mereka umumnya tidak tinggal bersama orangtua.
Geng di DIY berkembang bisa jadi terkait dengan sejarah kekerasan. ”Tahun 1980-an, banyak preman lokal yang biasa disebut gali (gabungan anak-anak liar) menjadi korban penembakan misterius (petrus). Tidak semua gali tewas, beberapa malahan menjadi tokoh masyarakat. Hal ini, kata psikolog forensik Komisaris Besar Arif Nurcahyo, yang bertugas di Polda DIY, menginspirasi generasi muda.
Menurut Arif, penyebab munculnya klithih atau tumbuhnya geng di Yogya tidak linear, bukan sebab-akibat, melainkan akibat-akibat, yakni akibat dari sebuah peristiwa yang mengakibatkan peristiwa berikutnya.
”Jadi, multifaktor. Dalam relasi dengan keluarga, mereka terabaikan, orangtua banyak yang cerai. Akhirnya, mereka mencari jawaban dalam peer group gengnya itu, mencari eksistensi di medsos. Berkumpul dengan kegiatan, antara lain inisiasi. Di Yogya, ditambah lagi dengan hilangnya ruang publik, kepadatan masyarakat, dan kemacetan lalu lintas,” ujar Arif.
Baik korban maupun pelaku klithih, semua merupakan korban. Sesuai data profil di kepolisian, pelaku klithih merupakan korban keluarga yang bercerai. Mereka tak pernah mendapatkan sosok idola dalam perjalanan mematangkan kepribadian.
Kekerasan remaja dengan melempari kendaraan bermotor masih ada hubungannya dengan apa yang disebut klithih, hanya ada sedikit modifikasi karena pengaruh media sosial. Keluarga tetap memainkan peran vital dalam mencegah terjadinya tindakan kriminal remaja. Akan tetapi, ketika perbuatan remaja itu sudah mencederai warga masyarakat yang lain, hukum tetap harus ditegakkan.
Tahun 1980-an, banyak preman lokal yang biasa disebut gali (gabungan anak-anak liar) menjadi korban penembakan misterius (petrus). Tidak semua gali tewas, beberapa malahan menjadi tokoh masyarakat.