Ketahanan Keluarga Menangkal Aksi Kekerasan Jalanan
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Aksi kekerasan jalanan yang melibatkan anak remaja menjadi persoalan yang berlarut-larut di Yogyakarta. Ketahanan keluarga dinilai menjadi kunci untuk menangkal keterlibatan anak pada kekerasan jalanan. Pola asuh yang mengedepankan empati harus dilakukan sehingga bisa mencegah anak berbuat keji.
”Ketahanan keluarga menjadi penting untuk mencegah anak-anak terlibat dengan aksi kekerasan jalanan. Anak harus merasa nyaman di keluarganya sehingga ia tak perlu berkeliaran lagi mencari kelompok lain untuk menentukan bagaimana ia bersikap di lingkungannya,” kata Ketua Yayasan Lembaga Perlindungan Anak Daerah Istimewa Yogyakarta Sari Murti Widiyastuti saat ditemui di Yogyakarta, Kamis (14/2/2019).
Dalam dua bulan terakhir, sedikitnya ada tiga aksi kekerasan jalanan yang dilakukan anak berusia di bawah 20 tahun. Dari ketiga aksi itu, rentang usia pelakunya mulai dari 16 tahun hingga 18 tahun. Ada yang berstatus pelajar, ada pula yang merupakan anak putus sekolah.
Terakhir, tiga remaja, yaitu D (16), R (16), dan S (18), ditangkap akibat melakukan pelemparan batu terhadap sejumlah pengendara di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka melakukan aksi itu sebagai pelampiasan emosi.
Kendaraan yang dilempari batu itu dipilih secara acak. Tidak ada motif khusus dari aksi itu. Mereka mengaku hanya ingin berbuat gaduh. Beruntung tidak ada korban jiwa ataupun luka yang terjatuh akibat aksi yang mereka lakukan itu.
Sari menjelaskan, aksi kekerasan jalanan bisa dilakukan remaja karena ia tidak mendapatkan cukup perhatian di keluarganya. Anak tidak merasa diakui sehingga ia mencari kelompok lain yang kemungkinan bisa mengakui keberadaannya.
”Anak yang tidak memiliki kehangatan dalam keluarga itu mencari jalan sendiri. Ada yang pas dan ada yang tidak pas. Jika ketemu teman yang positif, dia akan positif. Tetapi, kalau ketemu teman yang negatif, dia akan ikut menjadi negatif. Misalnya, anak yang melakukan aksi kekerasan, melukai orang, ini justru bangga karena mendapatkan pengakuan,” tutur Sari.
Hal serupa terjadi pada aksi yang dilakukan D, R, dan S. Mereka mengikuti sebuah grup di media sosial yang kerap mengunggah aksi kekerasan jalanan serupa. Jika aksi kekerasan yang mereka lakukan diunggah di grup yang diikuti itu, ada perasaan bangga yang mereka rasakan.
Sari menilai, ada yang salah dengan anak-anak tersebut. Mereka meyakini, melukai atau membahayakan orang lain sebagai sebuah kebenaran. Moral dan etika tidak hadir dalam akal sehat anak-anak tersebut. Muncul kesan bahwa orangtua tidak hadir untuk mengajarkan nilai-nilai kebaikan kepada mereka.
”Orangtua harus mendidik anak-anaknya dengan mengedepankan empati dan kasih sayang. Kedua hal itu akan membuat anak juga menunjukkan empati dalam bersikap sehingga tidak terjerumus dalam berbagai kegiatan kekerasan. Orangtua punya tanggung jawab mengawasi pertumbuhan,” kata Sari.
Sebelumnya, sosiolog kriminal dari UGM, Suprapto, menyampaikan, aksi kekerasan itu dipicu dari pertumbuhan emosi anak yang belum bisa mengendalikan emosinya. Lalu, diikuti dengan adanya kelompok yang membenarkan anak tersebut untuk melakukan aksi kekerasan.
”Ada kekecewaan dan tidak bisa mengendalikan diri. Dia belum punya kemampuan maksimal untuk mengendalikan emosinya. Secara eksternal, dia merasa dilindungi oleh kelompok tertentu saat bertindak kekerasan,” ujarnya.
Suprapto menilai, hukuman tegas tetap diperlukan agar muncul efek jera sehingga ada contoh kasus yang membuat seorang anak untuk berpikir berulang kali jika ingin melakukan tindak kekerasan. Sebab, dalam sejumlah kasus, aksi kekerasan itu sudah direncanakan sedemikian rupa dengan dipersiapkannya senjata tajam yang akan digunakan untuk melukai orang lain.
Secara terpisah, Direktur Reserse Kriminal Umum Polda DIY Komisaris Besar Hadi Utomo mengungkapkan, pihaknya tidak lagi menoleransi segala bentuk aksi kekerasan jalanan. Ia akan menjalankan penindakan hukum sesuai dengan yang diatur oleh peraturan perundang-undangan.
”Sikap kami jelas. Kami tidak memberikan toleransi kepada setiap aksi kekerasan atau kejahatan jalanan. Pedoman kami dalam melakukan penindakan adalah peraturan perundang-undangan. Jika ada tersangkanya dan terbukti, harus ditindak sebagaimana mestinya,” tutur Hadi.