Laju sedimentasi di muara Sungai Barito, Kalimantan Selatan sudah sangat tinggi. Untuk memperlancar lalu lintas pelayaran kapal di alur Barito, pengerukan sedimentasi harus dilakukan setiap hari.
Oleh
Jumarto Yulianus
·2 menit baca
BANJARMASIN, KOMPAS — Laju sedimentasi di muara Sungai Barito, Kalimantan Selatan, sudah sangat tinggi. Untuk memperlancar lalu lintas pelayaran kapal di alur Barito, pengerukan sedimentasi harus dilakukan setiap hari.
Pemeliharaan alur Barito untuk lalu lintas kapal menuju ataupun keluar Pelabuhan Trisakti, Banjarmasin, tidak bisa lagi dilakukan secara berkala, tetapi harus rutin setiap hari. Jika tidak begitu, alur hanya bisa dilintasi saat air laut pasang, yang berlangsung hanya 8 jam sehari.
Menurut Direktur Utama PT Ambang Barito Nusapersada (Ambapers) Syaipul Adhar, laju sedimentasi di Sungai Barito sudah sangat tinggi. Permasalahannya tidak hanya di muara, tetapi mulai dari hulu banyak aktivitas yang membuat pendangkalan cepat terjadi.
”Karena itu, kami harus bekerja keras untuk memelihara alur Barito. Setiap hari kapal keruk harus digerakkan dan siap 24 jam. Kalau tidak begitu, akan jadi masalah seperti dulu. Kapal-kapal yang mau masuk Pelabuhan Trisakti harus antre di ujung muara menunggu air pasang,” tutur Syaipul di Banjarmasin, Kamis (14/2/2019).
Menurut dia, sejak dikelola oleh PT Ambapers dan dilakukan pengerukan serta uji coba pada 2009, alur Barito bisa dilayari selama 24 jam dengan dua arah. Alur Barito juga bisa dilalui kapal-kapal ukuran besar, bahkan saat titik terendah air surut di Sungai Barito.
”Kami membentuk alur sepanjang 15 kilometer dan lebar dasar alur 100 meter. Kami menjaga kedalamannya -5 LWS (low water spring). Dalam kondisi paling surut, kapal-kapal dengan draft di bawah 6, terutama kapal pengangkut bahan pokok, dipastikan masih bisa melintas,” tuturnya.
Pemeliharaan alur Barito dilakukan dengan menggunakan kapal keruk Barito Equator. Kapal tersebut dioperasikan pihak ketiga yang bekerja sama dengan PT Ambapers. ”Volume sedimentasi yang dikeruk sekitar 300.000 meter kubik per bulan,” ujarnya.
Berdasarkan pengukuran tim Laboratorium Hidraulika Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat saat Ekspedisi Susur Sungai Barito dan Sungai Nagara pada November 2016, Sungai Barito mengalami pendangkalan akibat sedimentasi lumpur.
Ketika daerah tangkapan air di kawasan hulu sungai berubah menjadi areal pertambangan dan perkebunan, akan mempercepat proses sedimentasi.
Saat mengukur kedalaman Sungai Barito yang berada persis di bawah Jembatan Barito, diketahui bahwa kedalaman Sungai Barito di sisi timur jembatan hanya 5 meter. Dengan begitu, alur Sungai Barito di timur Pulau Bakut tidak bisa untuk pelayaran kapal. Adapun kedalaman alur Sungai Barito di sisi barat Pulau Bakut mencapai 21 meter sehingga aman bagi pelayaran (Kompas, 22/11/2016).
Menurut Kepala Laboratorium Hidraulika Fakultas Teknik Universitas Lambung Mangkurat Muhammad Azhari Noor, sedimentasi dipengaruhi perubahan tata guna lahan. ”Ketika daerah tangkapan air di kawasan hulu sungai berubah menjadi areal pertambangan dan perkebunan, akan mempercepat proses sedimentasi,” katanya.