Meskipun Tumbuh, Industri TPT Indonesia Masih Kalah Kompetitif
Oleh
Ayu Pratiwi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri tekstil dan produk tekstil atau TPT Indonesia yang tumbuh selama dua tahun terakhir perlu terus didukung dengan berbagai perbaikan guna meningkatkan daya saing di pasar global. Industri TPT Indonesia saat ini masih kalah kompetitif dibandingkan dengan salah satu kompetitor utamanya di pasar global, yakni Vietnam.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat yang dihubungi di Jakarta, Kamis (14/2/2019), menyampaikan, ada tiga faktor utama yang menyebabkan Indonesia kalah saing dengan Vietnam. Vietnam memiliki 48 jam kerja seminggu atau lebih banyak 8 jam dari Indonesia, yang mengatur 40 jam kerja seminggu.
”Produktivitas tenaga kerja di Indonesia jadi sekitar 20 persen lebih rendah dibanding Vietnam. Padahal, Indonesia dan Vietnam sama-sama negara berkembang,” ucap Ade.
Faktor lain yang mengakibatkan daya saing produk TPT Indonesia lebih rendah adalah biaya listrik. Produsen TPT di Indonesia harus membayar listrik sebesar 0,9 dollar AS per kilowatt jam (kWh), lebih mahal daripada Vietnam yang dipatok 0,6 dollar AS per kWh.
Selain itu, Vietnam juga memiliki akses pasar yang lebih menguntungkan dibandingkan Indonesia. Produk TPT Vietnam bisa masuk ke pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan tarif bea masuk nol persen. Sementara itu, produk tekstil Indonesia masih dikenai bea masuk 5-20 persen (Kompas, 13/2/2019).
Untuk meningkatkan daya saingnya, pekerjaan rumah utama Indonesia ke depan adalah menyelesaikan negosiasi dengan negara lain dan memperoleh persetujuan perdagangan bebas.
”Hambatan internal juga harus diberesin. Diperlukan perubahan undang-undang jam kerja dan biaya listrik,” ujar Ade.
Pada 2018, nilai ekspor TPT Indonesia mencapai 14 miliar dollar AS dan naik 6 persen dibanding 2017. Menurut data Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), ekspor TPT Indonesia baru mencakup 1,8 persen dari pasar internasional. Menurut Ade, produk Indonesia harus bisa menguasai 6 persen dari pasar dunia (Kompas.id, 13/2/2019).
Ketiga faktor tersebut membuat kinerja ekspor TPT Vietnam tahun 2018 pun cemerlang hingga tumbuh 16 persen dari tahun 2017. Nilai ekspor TPT Vietnam tahun 2018 menembus 36 miliar dollar AS (Rp 507,88 triliun) atau 250 persen lebih tinggi daripada Indonesia.
Pertumbuhan sebesar itu membuat Vietnam masuk dalam tiga besar negara eksportir TPT terbesar global, mengekor China dan India. Pemerintah Vietnam dan kalangan dunia usaha terus bergerak agresif.
Pada 2019, Vietnam menargetkan penghasilan dari ekspor produk TPT mencapai 40 miliar dollar AS (Rp 564,32 triliun) atau tumbuh 10,8 persen dibanding 2018. Dengan pertumbuhan sebesar itu, industri TPT Vietnam diperkirakan bakal membuka lapangan kerja baru untuk 2,85 juta orang.
Ketua Asosiasi Tekstil dan Pakaian Vietnam (VITAS) Vu Duc Giang optimistis hal tersebut tercapai dengan melihat status order TPT tahun 2019 yang cukup positif. Sebagian besar pengusaha telah menerima pemesanan selama enam bulan pertama hingga seluruh tahun 2019.
”Meningkatnya aliran investasi dalam industri tekstil dan pewarnaan membuat produk tekstil dan pakaian Vietnam lebih kompetitif,” kata Giang, seperti dikutip media lokal berbahasa Inggris, Vietnam News.
Pada Januari 2019, Vietnam mulai menerapkan Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP). Perjanjian itu merupakan kesepakatan perdagangan bebas di antara 11 negara, termasuk Vietnam, Australia, Kanada, Jepang, dan Meksiko.
Selain membuka kesempatan kepada Vietnam untuk memperluas pasarnya, perjanjian itu juga menjadi tantangan bagi Vietnam untuk mempertahankan daya saingnya. Untuk itu, perusahaan tekstil dan pakaian Vietnam perlu meningkatkan teknologi peralatannya serta sumber daya manusianya agar sesuai dengan standar internasional yang semakin menekankan metode produksi yang beretika dan ramah lingkungan.