Pemberitahuan Merger dan Akuisisi di Awal Untungkan Pelaku Usaha
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mekanisme pranotifikasi penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan perusahaan kepada Komisi Pengawas Persaingan Usaha atau KPPU dinilai dapat memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Namun, KPPU perlu menyiapkan kemampuan kelembagaan untuk memproses semua notifikasi yang masuk.
Hal ini mengemuka dalam diskusi bertajuk Dampak Perubahan Mekanisme Notifikasi Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Dalam RUU Persaingan Usaha, Kamis (14/2/2019) di Jakarta. Diskusi itu digelar oleh Masyarakat Pemantau Persaingan Usaha (Mappu). Hadir sebagai pembicara Komisioner KPPU Guntur Saragih, pengamat kebijakan persaingan usaha Rolly Purnomo, serta pengajar Hukum Administrasi Negara Universitas Indonesia Dian Puji Simatupang.
Guntur mengatakan, pengawasan praktik merger dan akuisisi perusahaan saat ini dilaksanakan dalam rezim pascanotifikasi (post-notification). Artinya, pelaku usaha melapor kepada KPPU setelah peleburan atau akuisisi selesai. Hal ini diatur UU Nomor 5/1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (LPMPUTS).
Pengawasan praktik merger dan akuisisi perusahaan saat ini dilaksanakan dalam rezim pascanotifikasi (post-notification). Artinya, pelaku usaha melapor kepada KPPU setelah peleburan atau akuisisi selesai
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57/2010 mengatur mekanisme pelaporan secara lebih mendetail. Pelaku usaha diwajibkan melaporkan merger dan akuisisi dengan mekanisme pascanotifikasi. Adapun pelaporan sebelum merger dan akuisisi atau pranotifikasi merupakan opsi sukarela.
“Mekanisme pascanotifikasi itu menyebabkan ketidakpastian bagi pelaku usaha. Bayangkan, merger atau akuisisi sudah selesai, tapi pengusaha harus harap-harap cemas dengan penilaian KPPU. Akibatnya, sejak 2010 hingga sekarang, kami belum pernah membatalkan merger dan akuisisi,” kata Guntur.
Menurut Peraturan KPPU Nomor 11/2010 tentang Konsultasi Penggabungan atau Peleburan Badan Usaha dan Pengambilalihan Saham Perusahaan, notifikasi hanya diwajibkan bagi merger dan akusisi dengan nilai aset perusahaan Rp 2,5 triliun atau nilai penjualan sebesar Rp 5 triliun. Bagi perbankan, notifikasi diwajibkan jika nilai aset setelah merger atau akusisi bernilai Rp 20 triliun.
Munculnya rencana mengubah mekanisme pelaporan dari pascanotifikasi menjadi pranotifikasi dalam RUU LPMPUTS disambut Guntur sebagai perkembangan positif. KPPU akan lebih mudah mencegah merger dan akuisisi yang membuat perusahaan semakin menguasai pangsa pasar sehingga timbul monopoli.
“Merger dan akuisisi bisa membuat pelaku usaha menjadi sangat dominan secara serta merta. Jika pelaku usaha sudah sangat dominan, KPPU harus waspada. Jangan sampai posisi dominan itu disalahgunakan,” kata Guntur.
Mekanisme pelaporan yang umum digunakan di negara-negara lain adalah pranotifikasi. Menurut Rolly, mekanisme ini lebih disukai karena perusahaan hasil merger dan akuisisi bisa mendapatkan kepastian hukum. Selain itu, perilaku antikompetisi, seperti monopoli, bisa dicegah sebelum terjadi.
Rolly menilai, RUU LPMPUTS juga menunjukkan perkembangan positif lainnya. KPPU diwajibkan memberikan penilaian dampak merger dan akuisisi dalam 25 hari kerja setelah badan usaha mengajukan rencana aksi korporasi. Ini berbeda dengan PP Nomor 57/2010 yang mewajibkan KPPU memberikan penilaian maksimal 90 hari setelah notifikasi, namun tanpa mitigasi dampak jika merger atau akuisisi dinilai antikompetisi.
Selain itu, denda bagi perusahaan yang tidak mengajukan notifikasi juga dinilai lebih memberikan efek jera. Di PP 57/2010, perusahaan dapat dikenai denda Rp 25 miliar hingga Rp 100 miliar. Di RUU LPMPUTS, denda menjadi 25 persen dari nilai transaksi. “Buat perusahaan, Rp 25 miliar sampai 100 miliar itu, kan, nilai yang sangat kecil,” kata Rolly.
Di sisi lain, KPPU perlu menyiapkan sumber daya manusianya (SDM). Rolly memprediksi, jumlah notifikasi yang diterima KPPU akan meningkat jika RUU LPMPUTS diberlakukan. UU Nomor 5/1999 hanya mengatur penggabungan, peleburan, dan pengambilalihan saham, sedangkan RUU LPMPUTS mengatur ketiga hal tersebut ditambah pengambilalihan aset dan pembentukan usaha patungan.
“Kalau beban kerjanya tinggi, tetapi SDM terbatas, potensi keterlambatan pembuatan keputusan KPPU akan menjadi besar juga. Apalagi, jumlah notifikasi selama ini sudah sangat banyak. Ini harus diatasi dengan jumlah SDM yang cukup,” kata Rolly.
Menurut data yang dikumpulkan Rolly dari KPPU, secara keseluruhan, jumlah notifikasi merger dan akuisisi pada tahun 2018 mencapai 74, menurun dari 90 di tahun 2017. Pada tahun 2016, laporan kepada KPPU berjumlah 65, naik dari 51 pada 2015.
Untuk menopang fungsi pengawasannya yang semakin berat, Dian Puji mengatakan, KPPU harus diatur dan ditegaskan sebagai lembaga negara independen. Saat ini, KPPU hanya berstatus sebagai komisi, bukan lembaga negara seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Akibatnya, KPPU tidak dapat mengelola keuangannya secara mandiri maupun menetapkan status kepegawaian sebagai pegawai negeri sipil atau pegawai KPPU. “Kalau kelembagaannya saja tidak jelas, bagaimana wewenang bisa dijalankan?” kata Dian Puji.
Harus cepat
Di lain pihak, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menyambut baik RUU penggantian mekanisme pascanotifikasi menjadi pranotifikasi. “Ini tujuan yang bagus, supaya tidak ribet di belakang hari. Tapi, KPPU harus bisa memprosesnya dengan cepat,” kata Hariyadi.
Sementara itu, Guntur berharap RUU LPMPUTS dapat disepakati. Jika tidak, KPPU akan mengganti mekanisme penilaian notifikasi secara sepihak.
Saat ini, penilaian akuisisi dan merger masih berada di bawah Kedeputian Pencegahan KPPU. “Kami sudah berencana menjadikannya ranah Penegakan Hukum sehingga kami bisa menindak pelanggaran,” kata Guntur.