BANDUNG, KOMPAS –Penegakan hukum dalam pelaksanaan Program Citarum Harum membutuhkan sinergitas antaraparat. Koordinasi ini perlu dilakukan karena Citarum menjadi sorotan pemerintah pusat dalam percontohan program perbaikan di sungai-sungai besar lainnya.
Asisten Deputi Bidang Pendidikan dan Pelatihan Maritim Kementerian Koordinatir Bidang Kemaritiman Tbagus Haeru Rahayu, Kamis (14/2/2019) menyatakan, penegakan hukum dalam pelaksanaan Program Citarum Harum butuh koordinasi agar sinergis. Citarum menjadi percontohan program perbaikan sungai sehingga progresnya menjadi perhatian pusat, termasuk sistem penegakan hukumnya.
“Banyak permintaan untuk memperbaiki sungai-sunagai lainnya, seperti Ciliwung tetapi kami masih fokus ke sungai Citarum. Ini betul-betul jadi percontohan. Jika Citarum belum selesai, lalu formatnya ditiru ke sungai lain, dikhawatirkan kesalahan yang sama akan terulang. Jangan sampai latah,” ujarnya.
Banyak permintaan untuk memperbaiki sungai-sunagai lainnya, seperti Ciliwung tetapi kami masih fokus ke sungai Citarum. Ini betul-betul jadi percontohan. Jika Citarum belum selesai, lalu formatnya ditiru ke sungai lain, dikhawatirkan kesalahan yang sama akan terulang. Jangan sampai latah
Haeru berharap, para unsur penegak hukum dan pengawas di lapangan yang bertemu dalam lokakarya ini diharapkan bisa menjalin koordinasi yang lebih baik. Jika sudah mendapatkan format yang tepat, program serupa baru akan diaplikasikan ke Daerah Aliran Sungai (DAS) lainnya.
“Kami melihat, bidang penegakan hukum masih jauh dari yang diharapkan. Karena itu, Menko Maritim mengundang komponen penegak hukum dan komandan sektor sebagai pengawas wilayah untuk menciptakan sinergi,” tuturnya di sela Lokakarya Penguatan Koordinasi Penegak Hukum di DAS Citarum.
Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat Joko Iriantono menyatakan, penegakan hukum di tingkat administrasi dianggap lebih menimbulkan efek jera bagi pelanggar, terutama perusahaan-perusahaan yang membuang limbah di sungai. Dalam sambutannya mewakili wakil komandan Satgas bidang pencegahan dan penegakan hukum Citarum Harum, Joko berujar, penegakan hukum hingga tingkat persidangan seharusnya menjadi pilihan terakhir.
“Penegakan hukum di tingkat persidangan ibarat sakit dan masuk ke pemeriksaan dokter. Jadi memang sudah tidak ada pilihan lain. Sepanjang perencanaan dibuat denga baik, pengawasan yang optimal bisa dilakukan dengan penerapan sanksi administrasi,” ujarnya.
Joko memaparkan, ada tiga tahap menjalankan instrumen penegakan hukum di Citarum Harum ini. Tahap pertama adalah sanksi administrasi yang dikeluarkan pemerintah daerah, instrumen keperdataan dan Tata Usaha Negara (TUN), serta yang terakhir melalui tindakan pidana.
Menurut Joko, sanksi administrasi lebih efektif karena menimbulkan kerugian yang lebih banyak. Ia berpendapat, jika sanksi administrasi ditegakkan, pengawasan akan semakin ketat karena sanksi tesebut bisa lebih berat dari keputusan pengadilan.
“Kalau di pengadilan, denda paling besar Rp 1 miliar. Kalau administrasi, pemerintah berwenang menegur, pembekuan izin, penyitaan barang, bahkan penghentian produksi sementara. Hal ini tentu lebih merugikan perusahaan,” ujarnya.
Pengamat Hukum dari Universitas Katolik Parahyangan Asep Warlan Yusuf menyatakan, keterpaduan antar wilayah menjadi prinsip yang harus dipegang dalam pendekatan kewilayahan di DAS Citarum. Persepsi yang sama terhadap peraturan perundang-undangan diperlukan sehingga pengawsan dan penegakan hukum bisa efektif.
“Hulu dan hilir sering tidak ada komunikasi dan koordinasi, bahkan kebijakannya pun tumpang tindih. Soal lingkungan hidup, air, tidak terkoordinir dengan baik. Mempekuat kerjasama dantar daerah dibutuhkan dengan prinsip dasar demokratis, partisipatif, dan kolaboratif,” ujarnya.