Ada Pemerasan di Balik Layanan Panggilan Video Porno
Direktorat Siber Badan Reserse Kriminal Polri menangkap SF (25), salah seorang sindikat pemerasan melalui layanan panggilan video pornografi atau video call sex. Pemerasan bernilai puluhan juta rupiah itu telah merugikan 100 pengguna Facebook pria selama 2018-2019.
Oleh
A Ponco Anggoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Direktorat Siber Badan Reserse Kriminal Polri menangkap SF (25), salah seorang anggota sindikat pemerasan melalui layanan panggilan video pornografi atau video call sex. Pemerasan bernilai puluhan juta rupiah itu telah merugikan 100 pengguna Facebook pria selama 2018-2019.
SF ditangkap di kediamannya di Kabupaten Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, pada 6 Februari 2019. Sementara dua pelaku lain, yakni AY dan VB, masih buron. Ketiganya selama ini pengangguran.
Kepala Subdirektorat I Tindak Pidana Siber Bareskrim Komisaris Besar Dani Kustoni, di Kantor Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim, Jakarta, Jumat (15/2/2019), mengatakan, SF dan dua rekannya telah melakukan pemerasan sejak Februari 2018 dengan total korban mencapai 100 orang.
Sebelum memeras, SF dan AY membuat akun Facebook palsu dengan memajang foto profil perempuan untuk merayu korban pria. Korban kemudian ditawari layanan panggilan video porno (video call sex/VCS), dengan syarat mengirimkan uang Rp 100.000 ke rekening bank yang dikelola oleh VB.
”Saat komunikasi video terjadi, SF akan menampilkan rekaman video pornografi kepada korban. Jadi, apa yang dilihat korban merupakan rekaman video, bukan panggilan video langsung,” kata Dani.
Rekaman video pornografi itu diperoleh pelaku dari internet. Saat korban mulai melakukan kegiatan seksual, pelaku akan merekam kegiatan tersebut dan menjadikan rekaman itu sebagai alat untuk memeras korban.
Sasaran pelaku
Dani mengatakan, SF dan AY akan meminta uang kepada korban Rp 30 juta sampai Rp 40 juta. Jika tidak dipenuhi, keduanya mengancam akan menyebarkan video tersebut ke keluarga ataupun teman-teman korban.
”Pelaku lebih memilih calon korban yang mencantumkan identitas lengkap, seperti nomor telepon, alamat, dan foto keluarga atau teman kerja di media sosial. Ini untuk mempermudah pelaku melakukan pemerasan,” tambah Dani.
Berdasarkan pengakuan SF, ia memeras karena motif ekonomi. Uang hasil perbuatannya untuk memenuhi keperluan sehari-hari serta membeli barang guna mendukung pemerasan, seperti jam tangan pintar dan ponsel.
Dalam penangkapan itu, polisi menyita empat telepon genggam beserta kartu SIM, KTP milik SF, empat buku tabungan, serta tiga kartu ATM.
SF pun dijerat dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 29 juncto Pasal 30 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dengan ancaman penjara maksimal 12 tahun. Kemudian Pasal 45 Ayat (1) dan (4) juncto Pasal 27 Ayat (1) dan (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan ancaman maksimal 4 tahun penjara.
Selain itu, Pasal 369 KUHP dengan ancaman maksimal 4 tahun penjara dan Pasal 3, 4, dan 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara.
Malu
Kasubag Opinev Bagian Penerangan Umum Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Ajun Komisaris Besar Zahwani Pandra Arsyad mengatakan, kasus ini lama terungkap karena para korban malu melaporkan kasus pemerasan yang menimpa mereka ke kepolisian.
”Mereka (korban) menganggap ini sebagai aib,” kata Zahwani. Oleh karena itu, kasus ini baru terungkap pada pertengahan Desember 2018 ketika salah seorang korban berani melaporkan pemerasan tersebut.
Atas kejadian ini, Zahwani mengimbau masyarakat untuk menolak dan tidak menanggapi akun media sosial yang tidak dikenal.
Selain itu, masyarakat diminta tidak menjadi obyek pornografi di depan kamera, baik secara luar jaringan (luring) maupun daring.
”Jika telah menjadi korban pemerasan seksual, jangan menuruti apa pun kemauan pelaku dan segera melaporkan tindakan tersebut ke pihak kepolisian,” ujarnya. (DIONISIO DAMARA)