JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan pelaku industri memiliki sejumlah pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan untuk memacu daya saing produk tekstil dan produk tekstil Indonesia. Berkaca dari Vietnam, ada sederet faktor yang membuat produk Indonesia kalah kompetitif, antara lain terkait produktivitas tenaga kerja, biaya listrik, dan akses pasar.
Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat, saat dihubungi di Jakarta, Kamis (14/2/2019), berpendapat, ada tiga faktor utama yang menyebabkan Indonesia kalah bersaing dengan Vietnam. Pertama, jumlah jam kerja di Vietnam mencapai 48 jam per minggu, sementara di Indonesia 40 jam per minggu.
Kedua, biaya listrik. Data yang diolah API menunjukkan, tarif listrik per kilowatt jam (kWh) di Vietnam hanya 7 sen dollar AS pada tahun 2015, sementara di Indonesia 10,5 sen dollar AS per kWh.
Harga gas juga berbeda. Di Vietnam 7,5 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU), sedangkan di Indonesia 9,3 dollar AS. Biaya THC (terminal handling charge) kontainer ukuran 20 kaki dan 40 kaki di Pelabuhan Ho Chi Minh, Vietnam, 46 dollar AS dan 69 dollar AS, sementara di Pelabuhan Tanjung Priok, Indonesia, 95 dollar AS dan 145 dollar AS.
Perjanjian dagang
Faktor ketiga, Vietnam memiliki akses pasar yang lebih menguntungkan dibandingkan Indonesia. Produk Vietnam bisa masuk ke pasar Amerika Serikat dan Uni Eropa dengan tarif bea masuk nol persen. Sementara produk tekstil Indonesia masih dikenai bea masuk 5-20 persen.
Menurut Ade, selain membereskan hambatan internal, pekerjaan rumah utama Indonesia ke depan adalah menyelesaikan negosiasi dengan negara lain dan memperoleh persetujuan perdagangan bebas.
Menurut Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Benny Soetrisno, selain tarif listrik dan biaya pelabuhan, Indonesia perlu mengejar di sisi jam kerja dan biaya lembur. Dengan demikian, produk semakin kompetitif, sementara pasarnya terbuka lebih lebar.
Pada 2018, nilai ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia mencapai 14 miliar dollar AS, naik 6 persen dibandingkan tahun 2017. Namun, angka itu masih jauh lebih rendah dari capaian Vietnam yang nilai ekspor TPT-nya lebih dari 36 miliar dollar AS tahun lalu. Angka itu meningkat 16 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Tahun ini, Vietnam menargetkan penghasilan dari ekspor TPT sebesar 40 miliar dollar AS.
Selain tarif listrik dan biaya pelabuhan, Indonesia perlu mengejar di sisi jam kerja dan biaya lembur.
Pertumbuhan itu diperkirakan membuka lapangan kerja baru untuk 2,85 juta orang. Kini Vietnam adalah satu dari tiga negara pengekspor produk tekstil terbesar di dunia, selain China dan India.
Ketua Asosiasi Tekstil dan Pakaian Vietnam Vu Duc Giang menyatakan, status pemesanan pada 2019 tampak positif. ”Meningkatnya aliran investasi dalam industri tekstil dan pewarnaan membuat produk tekstil dan pakaian Vietnam lebih kompetitif,” kata Giang, seperti dikutip media lokal berbahasa Inggris, Vietnam News.
Pada Januari 2019, Vietnam mulai menerapkan Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik. Perjanjian ini merupakan kesepakatan perdagangan bebas di antara 11 negara, termasuk Vietnam, Australia, Kanada, Jepang, dan Meksiko. Perjanjian itu menjadi tantangan bagi Vietnam untuk mempertahankan daya saingnya. (WHO/AYU)