Pemilu 1992 kembali dimenangi Partai Golkar. Hasil ini semakin mengukuhkan legitimasi kekuasaan politik Indonesia saat itu. Akan tetapi, hasil perolehan suara Pemilu 1992 sekaligus menyalakan tanda bahaya bagi oligarki di pemerintahan kala itu.
PDI mulai "mengancam" oligarki kekuasaan saat itu. PDI menyerukan agar masa jabatan presiden dibatasi. Selain itu, putra-putri Soekarno juga bergabung ke PDI. Di saat bersamaan, PDI mengambil posisi sebagai partai pembela rakyat miskin dan partai oposisi.
Hasil Pemilu 1992 menunjukkan PDI meraih 14,6 juta suara atau 14,89 persen dari total suara sah. Kendati raihan suara ini menjadi yang terkecil dibandingkan Golkar dan PPP, capaian suara PDI ini naik 4,02 persen dari pemilu 1987. Sementara itu, perolehan suara Golkar justru turun 5,06 persen dari pemilu sebelumnya.
Kemerosotan perolehan suara Golkar dimanfaatkan oleh PDI dan PPP, terutama di luar Jawa. Hal ini terjadi misalnya di Bali. Di provinsi ini, suara Golkar turun 9,26 persen, sedangkan PPP naik 0,32 persen dan PDI naik 8,94 persen dibanding Pemilu 1987.
Konsekuensi penurunan suara membuat Golkar harus melepas 17 kursi yang dikuasai dari pemilu sebelumnya menjadi 282 kursi saja. Sebaliknya, PDI menambah 16 kursi menjadi 56 kursi. Sementara itu, PPP yang mendapat 62 kursi tidak mengalami peningkatan berarti karena hanya mendapat tambahan 1 kursi.
Kendati Golkar masih memenangi Pemilu 1992, pemerintah semakin meningkatkan kewaspadaan terhadap kekuatan oposisi. Ketakutan kaum oligarki kian terlihat saat kekuatan partai-partai oposisi digembosi. Dapat dikatakan, hasil Pemilu 1992 menghadirkan benih-benih ancaman bagi oligarki hingga akhirnya runtuh melalui gerakan Reformasi 1998. (L07/Sugihandari/Litbang Kompas)