Butuh Program Konkret Keluar dari “Middle Income Trap”
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Debat kedua calon presiden-calon wakil presiden, yang digelar 17 Februari nanti, diharapkan tidak sebatas adu gagasan teknis terkait isu pangan, energi, dan infrastruktur. Ketiga isu tersebut mesti mengarah ke upaya Indonesia keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah.
Direktur Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan, dalam konteks ekonomi, pemerintah memiliki tantangan besar untuk memacu pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dalam lima tahun mendatang. Arah kebijakan di sektor pangan, energi, dan infrastruktur mesti diarahkan untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah (middle income trap).
“Jangan lagi memperdebatkan perlu atau tidak, berdampak atau tidak, tetapi prioritasnya seperti apa,” kata Faisal dalam diskusi bertema menakar isu pangan, energi, dan infrastruktur menjelang debat calon presiden dan wakil presiden di Jakarta, Jumat (15/2/2019).
Indonesia, lanjut Faisal, membutuhkan pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,8 persen dalam lima tahun ke depan untuk keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah. Infrastruktur sebaiknya tidak dijadikan sektor prioritas, tetapi sebagai pendukung sektor prioritas. Tujuannya untuk menciptakan dampak berganda yang lebih besar bagi pertumbuhan ekonomi.
Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), produk domestik bruto (PDB) per kapita Indonesia naik dalam tiga tahun terakhir. Kenaikan PDB per kapita mulai dari 3.603,6 dollar AS tahun 2016 menjadi 3.876,3 dollar AS tahun 2017, dan akhirnya 3.927 dollar AS tahun 2018.
Faisal mencontohkan, perdebatan yang dimunculkan ke publik di bidang energi, misalnya, hanya tentang cara mendorong lifting minyak, mengembangkan energi baru terbarukan, atau memperbaiki impor minyak dan gas (migas). Arah kebijakan seharusnya pada pemanfaatan energi untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi.
“Salah satu penyebab daya saing industri di Indonesia lemah karena harga energi yang mahal. Tanpa industri manufaktur sulit untuk ekonomi tumbuh tinggi,” kata Faisal.
Tantangan berat
Tantangan negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, untuk keluar dari perangkap pendapatan menengah semakin berat. Dana Moneter Internasional (IMF) memproyeksikan pertumbuhan volume perdagangan global pada 2018 dan 2019 masing-masing 4,2 persen dan 4 persen. Padahal, pada 2017, volume perdagangan dunia tumbuh 5,2 persen.
IMF juga mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen. Langkah yang sama dilakukan Bank Dunia dari 3 persen menjadi 2,9 persen.
Pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju diperkirakan melambat dari 2,2 persen tahun lalu menjadi 2 persen tahun ini. Sementara di negara-negara berkembang ekonomi diperkirakan tumbuh 4,2 persen atau lebih rendah dibandingkan proyeksi sebelumnya yang 4,7 persen.
Ekonom CORE Akhmad Akbar Susanto menambahkan, infrastruktur menjadi sektor pendukung agar ekonomi bisa tumbuh. Isu pembangunan infrastruktur seyogianya difokuskan pada penciptaan lapangan kerja, keterlibatan pelaku ekonomi, kesejahteraan masyarakat lokal, pemerataan dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Dalam kesempatan yang sama, pakar media sosial Drone Emprit Ismail Fahmi berpendapat, isu pangan menjadi salah satu topik yang hangat diperbicakan netizen. Beberapa topik pangan yang mengarah ke kedua pasangan calon, antara lain persoalan impor pangan, harga bahan pokok, kesejhateraan petani dan nelayan, serta swasembada pangan.
Selain itu, ada sejumlah topik spesifik terkait infrastruktur, seperti pembiayaan infrastruktur dari dana asing, pembangunan tol tidak menjawab permasalahan kebutuhan rakyat, biaya pembangunan LRT 1 kilometer Rp 500 miliar dinilai mahal, serta permasalahan Badan Penyelenggaran Jaminan Sosial (BPJS).
“Percakapam di media sosial membentuk persepsi. Ini adalah perang persepsi,” kata Ismail.