Capres Ditantang Selesaikan Persoalan Lingkungan Hidup
Oleh
Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil yang menamakan diri sebagai Golongan Hutan mengingatkan kedua calon presiden untuk memprioritaskan isu lingkungan hidup pada debat capres kedua yang digelar 17 Februari 2019. Sejauh ini, persoalan lingkungan hidup belum menjadi isu arus utama dalam Pemilu 2019.
Koalisi menyampaikan hal itu dalam konferensi pers di kantor Walhi, Jakarta, Jumat (15/2/2019). Koalisi itu terdiri atas sejumlah organisasi, antara lain Walhi, Madani Berkelanjutan, Greenpeace Indonesia, Koaksi Indonesia, Kemitraan, HuMa, Change.org, Rekam Nusantara, dan Econusa.
Koordinator Golongan Hutan Khalisah Khalid mengatakan, selama ini, persoalan lingkungan hanya menjadi isu pinggiran bagi calon pemimpin menjelang pemilihan, termasuk calon presiden. Padahal, isu lingkungan hidup tidak kalah penting karena bersangkutan dengan hajat hidup orang banyak.
”Pada debat capres dengan tema energi, pangan, infrastruktur, sumber daya alam (SDA) dan lingkungan hidup yang akan dilangsungkan dua hari lagi, koalisi mengharapkan isu lingkungan hidup mendapatkan porsi lebih besar,” kata Khalisah, yang juga koordinator desk politik Walhi ini.
Menurut Khalisah, subtema energi, pangan, infrastruktur, dan SDA itu semuanya berkaitan dengan persoalan lingkungan hidup. Jika kebijakan pada pengelolaan energi, pangan, infrastruktur, dan sumber daya alam tidak tepat, akan memperparah kerusakan lingkungan hidup.
Khalisah melanjutkan, meskipun rezim pemerintahan terus berganti, persoalan lingkungan hidup tidak kunjung selesai. SDA terus dieksploitasi tanpa mengindahkan hak masyarakat adat, melanggar hak asasi manusia, menghancurkan hutan, dan mencemari lingkungan hidup. Praktik korupsi lewat obral izin SDA untuk melanggengkan kepentingan elit oligarki juga masih terjadi.
”Kami menantang kedua capres, sejauh mana mereka berani menyelesaikan persoalan itu,” ujarnya.
Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak mengatakan, salah satu contoh persoalan besar yang belum selesai adalah upaya pemulihan kerusakan lingkungan hidup akibat kebakaran hutan pada 2015 yang disebabkan oleh korporasi. Setidaknya, ada 11 kasus perdata yang menjerat korporasi dengan total biaya pemulihan Rp 18,9 triliun.
”Meskipun sudah diputuskan oleh pengadilan, pemulihan lingkungan belum terjadi. Kami ingin mengingatkan kepada siapa pun nanti yang akan jadi presiden, itu sesuatu yang harus ditagih tanggung jawabnya sehingga memberikan efek jera kepada korporasi yang telah merusak hutan,” kata Leonard.
Pelaksana Tugas Direktur Eksekutif Koaksi Indonesia Nully Nazlia menyoroti visi-misi capres di sektor energi. Kedua capres menekankan biodiesel untuk program energi terbarukan. Capres nomor 01 mengedepankan biodisel dengan komoditas kelapa sawit, sedangkan capres nomor 02 memilih bioetanol dengan komoditas, seperti ubi jalar dan ubi kayu. Namun, dalam mencapainya, kedua capres cenderung masih mengandalkan perluasan lahan.
”Kedua pasangan calon perlu lihat kembali program unggulannya. Kami mendorong kebijakan pemerintah ke peningkatan produktivitas, bukan dengan memperluas lahan,” ujarnya.
Pemimpin tim pembela hak asasi manusia Kemitraan Ririn Sefsani menambahkan, kebijakan moratorium perizinan baru di hutan primer dan lahan gambut berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2017 dan moratorium perizinan kelapa sawit berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2018 perlu dilanjutkan presiden terpilih.
”Kebijakan itu juga perlu diperkuat dengan penetapan target terukur, reformasi kebijakan perizinan, dan penegakan hukum terhadap berbagai kejahatan lingkungan hidup,” ujarnya.
Sementara itu, Direktur Perkumpulan HuMa Daniar mengatakan, kedua capres tidak sekadar berjanji dalam mengakui, menghormati, dan melindungi hak masyarakat adat dan keragaman budaya atas sumber daya alam.
”Harus dilakukan dengan political will yang kuat dari kedua pasangan calon presiden dan calon wakil presiden,” ujarnya. (YOLA SASTRA)