Dorong Industri Manufaktur untuk Atasi Defisit Neraca Perdagangan
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Neraca perdagangan pada Januari 2019 mencatatkan defisit 1,16 miliar dollar Amerika Serikat atau lebih dalam 53 persen dibandingkan dengan Januari 2018. Defisit yang kian dalam ini salah satunya disebabkan oleh prioritas pengembangan ekspor yang belum berpijak pada produk industri pengolahan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, nilai ekspor nasional pada Januari 2019 sebesar 13,87 miliar dollar AS atau turun 4,7 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Impor nasional senilai 15,03 miliar dollar AS atau turun 1,83 persen dari tahun lalu.
Angka neraca perdagangan Januari 2019 itu disumbang dari defisit sektor nonmigas sebesar 704,7 juta dollar AS dan defisit migas 454,8 juta dollar AS. Dibandingkan dengan Januari 2018, sektor migas defisit 935,6 juta dollar AS. Sementara sektor nonmigas surplus 179,6 dollar AS.
Jika dibandingkan dengan neraca perdagangan setiap Januari sepanjang 2014-2019, angka Januari 2019 merupakan defisit terdalam. ”Defisit ini dampak dari ekspor yang tidak berbasis pada industri pengolahan. Ekspor nasional masih berbasis pada komoditas pertanian dan pertambangan. Kunci ekspor nasional ada di industri pengolahan,” kata Kepala BPS Suhariyanto saat ditemui setelah konferensi pers di Jakarta, Jumat (15/2/2019).
Bentuk komoditas yang menjadi unggulan selama ini ialah kelapa sawit, karet, dan batubara. Suhariyanto mengatakan, ekspor berbasis komoditas ini sangat bergantung pada kondisi perekonomian global yang membentuk harga di pasar internasional.
Padahal, sektor industri memiliki proporsi terbesar dalam ekspor nasional Januari 2019, yakni 73,14 persen. Suhariyanto berpendapat, industri makanan dan minuman serta industri tekstil memiliki potensi untuk menopang ekspor.
Senada dengan Suhariyanto, dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal, menilai, ekspor berbasis komoditas tidak dapat diandalkan secara jangka panjang karena fluktuasi harga internasional.
Defisit Januari 2019 yang terdalam ini juga mencerminkan aktivitas industri yang kian lesu. ”Hal ini sejalan dengan turunnya kontribusi industri pengolahan pada produk domestik bruto nasional sejak tahun 2000-an awal,” kata Fithra.
Oleh karena itu, dia mengimbau pemerintah mesti mengambil langkah yang mendorong aktivitas industri pengolahan agar mendongkrak ekspornya. Salah satu strategi yang dapat dilakukan pemerintah saat ini ialah menekan ongkos logistik pada industri dengan memperhatikan korelasi infrastruktur yang dibangun dengan pemetaan daerah industri.
Persoalan logistik ini tidak hanya berorientasi pada pemangkasan jarak tempuh, tetapi juga waktu tempuh dan tarif. Dampaknya alur produksi dan produk yang dihasilkan oleh industri memiliki nilai tambah dan berdaya saing di tingkat internasional.
Selain itu, peneliti dari Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Latif Adam, berpendapat, pemerintah perlu mengevaluasi ulang produktivitas insentif-insentif yang diberikan pada industri-industri yang berada di kawasan khusus. Insentif yang diberikan seharusnya berdampak terhadap target peningkatan ekspor.
Tanpa pemantauan, insentif dari pemerintah ini berpotensi sia-sia. Latif mengatakan, insentif seharusnya disertai target kenaikan ekspor, misalnya 10 persen dari produksi dieskpor pada tahun pertama, lalu tahun berikutnya menjadi 20 persen.
Di sisi lain, data BPS juga mencerminkan adanya stagnansi aktivitas industri pada Januari 2019. Nilai ekspor industri pengolahan turun 4,47 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi 10,14 miliar dollar AS.
Di hulu produksi, impor bahan baku/penolong turun 0,11 persen dan impor barang modal turun 5,1 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, stagnansi itu disebabkan oleh pelaku industri cenderung bersikap menunggu dan melihat pergerakan ekonomi global dan dalam negeri.
Untuk menggenjot ekspor, Shinta mengatakan, pelaku industri membutuhkan dukungan berupa akses lahan, perizinan usaha, dan infrastruktur. Dia mengusulkan pengembangan industri pengolahan diprioritaskan pada sektor yang bernilai tambah dan tingkat penyerapan tenaga kerjanya tinggi. Contohnya, makanan-minuman, teknologi informasi, agrobisnis, dan transportasi.