Kemenperin Dorong Tingkatkan Daya Saing Lewat Vokasi
Oleh
·3 menit baca
BEKASI, KOMPAS – Industri baja merupakan tulang punggung bagi kegiatan produksi sektor industri lain. Hal ini membutuhkan sumber daya manusia yang kompeten guna mendorong peningkatan produktivitas dan menjadikan industri lebih berdaya saing.
“Untuk mendorong pertumbuhan industri, terdapat tiga pilar utama yang harus menjadi perhatian, yaitu investasi, teknologi, dan sumber daya manusia (SDM). Pertumbuhan sektor industri tersebut perlu didukung dengan penyediaan SDM yang kompeten,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto di Bekasi, Jawa Barat, Jumat (15/2/2019).
Hingga saat ini ada 745 industri dan 2.074 sekolah menengah kejuruan yang terlibat dalam program link and match. Airlangga mengatakan, sekolah vokasi industri baja diharapkan menjadi pusat pelatihan atau center of excellence bagi SDM.
Hal ini disampaikan dalam peletakan batu pertama Sekolah Vokasi di PT Gunung Raja Paksi, Bekasi, dan penandatanganan Nota Kesepahaman antara Sekretariat Jenderal Kementerian Perindustrian dan PT Gunung Raja Paksi. Kegiatan ini membahas tentang “Pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Industri Baja Melalui Pendidikan Dan Pelatihan Vokasi Industri yang Link And Match Dengan Industri”.
Airlangga menambahkan, melalui program ini, pemerintah akan menyiapkan insentif kepada industri dalam negeri yang melakukan pengembangan SDM melalui pemberian Tax Deduction sebesar 200 persen. "Program tersebut tidak akan dapat terlaksana jika tidak didukung oleh industri," katanya.
Dalam penerapannya, sekolah vokasi menganut sistem ganda, yaitu 30 persen teori dan 70 persen praktik langsung di industri. Maka, melalui sekolah vokasi baja, peserta didik sudah memiliki pengalaman langsung di lapangan sehingga lebih siap kerja dan berpotensi meningkatkan penyerapan tenaga kerja.
Lebih lanjut, Airlangga mengatakan, adanya sekolah vokasi sejalan dengan bonus demografi yang akan dicapai Indonesia. Badan Pusat Statistik mencatat, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai 305,6 juta pada tahun 2035. Sebesar 50 persen dari total jumlah penduduk berada di usia produktif, yaitu antara 15-64 tahun. "Melalui bonus demografi maka yang utama adalah pendidikan sumber daya manusia,” katanya.
Sejalan dengan itu, Presiden Direktur PT Gunung Raja Paksi Alouisius Maseimilian menyampaikan hal senada. Menurutnya, penandatanganan nota kesepahaman ini tidak hanya dapat mengasilkan produk, namun talenta baru yang dapat meningkatkan kualitas produk.
"Saat ini kami memiliki sekitar 5.000 tenaga kerja. Melalui pembangunan sekolah vokasi yang ditargetkan selesai tahun 2019, kami berharap dapat menciptakan talenta baru yang kompeten. Mengingat dalam perkembangannya, industri baja Indonesia membutuhkan banyak talenta baru," ujar Alouisius.
Kebutuhan nasional
Industri baja adalah bahan baku utama bagi kegiatan sektor industri lainnya, seperti permesinan dan peralatan pabrik, otomotif, maritim dan elektronika. Selain itu, produk baja merupakan komponen utama dalam pembangunan sektor ekonomi lainnya, yaitu sektor konstruksi secara luas yang meliputi bangunan dan properti, jalan dan jembatan, dan ketenagalistrikan.
Kementerian Perindustrian mencatat, sektor industri logam terus meningkat setiap tahunnya. Pada 2018 tumbuh 7,6 persen lebih tinggi dibandingkan tahun 2017 yang mencapai 6,33 persen. Serta lebih baik dari tahun 2016 yang hanya tumbuh 2,35 persen.
Secara total, data Kementerian Perdagangan menunjukkan, ekspor besi dan baja Indonesia pada 2018 sebesar 5,75 miliar dollar AS. Angka ini menunjukkan kenaikan 72,4 persen dibandingkan dengan 2017 yang sebesar 3,33 miliar dollar AS. (Kompas, 4 Februari 2019)
Meski menunjukkan tren positif, Direktur Jenderal Jenderal Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin Harjanto menyampaikan, kebutuhan nasional masih belum tercukupi. “Total kebutuhan kita kan sekitar 14 juta ton per tahun. Sementara kapasitas produksi dalam negeri saat ini baru sekitar 8 juta ton per tahun, selebihnya kita masih impor,” ujarnya.
Sebenarnya, potensi bahan baku di dalam negeri itu melimpah, namun belum dimanfaatkan secara optimal. Ini merupakan peluang yang baik untuk meningkatkan daya saing produk. Beberapa industri nasional telah memanfaatkan peluang ini. “Pemerintah akan terus berupaya untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif agar dunia usaha tetap bergairah melakukan investasinya di Indonesia,” ujar Harjanto. (SHARON PATRICIA)