Koalisi Masyarakat Sipil Tolak Pelibatan TNI di Ranah Sipil
Oleh
Andy Riza Hidayat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Koalisi masyarakat sipil secara tegas menolak rencana penempatan perwira TNI aktif di kementerian/lembaga dan peningkatan status komando teritorial. Selain bertentangan dengan sejumlah aturan, hal itu mengembalikan dwifungsi yang merusak demokrasi.
Koalisi masyarakat sipil terdiri dari 39 lembaga, baik pemerintahan maupun swasta, dan 39 tokoh dari berbagai elemen masyarakat. Mereka membuat petisi bersama bahwa reorganisasi TNI tidak boleh bertentangan dengan agenda reformasi.
Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Mochtar Pabottingi, dalam pembacaan petisi di Jakarta, Jumat (15/2/2019), mengatakan, rasionalitas demokrasi dan politik harus dijaga. Pelibatan kembali TNI aktif ke ranah sipil merupakan bentuk pergantian rezim yang tidak bersih ataupun persoalan lama yang belum tuntas.
”Orde Baru beralih ke Reformasi tidak disertai dengan konsekuensi atau impunitas. Secara sistem, Orde Baru sudah tidak ada, tetapi jiwa Orde Baru masih ada di dalam diri individu-individu, baik di pemerintahan maupun di luar pemerintahan,” ucap Mochtar.
Sistem pengawasan dan keseimbangan negara harus berjalan dan dijaga. Pelibatan TNI aktif ke ranah sipil adalah bentuk kemunduran serta merusak sistem negara. Harus dipilah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi. ”Negara bukanlah hidangan yang dapat dibagi-bagikan dalam pesta,” ujarnya.
Secara sistem, Orde Baru sudah tidak ada, tetapi jiwa Orde Baru masih ada di dalam diri individu-individu, baik di pemerintahan maupun di luar pemerintahan.
Ketua Pengurus Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati menjelaskan, agenda reformasi TNI pascatumbangnya Orde Baru belumlah tuntas. Reorganisasi TNI justru akan menambah persoalan baru. Perlu pertimbangan dari pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat berdasarkan aturan-aturan terkait dengan agenda reformasi TNI.
Aturan tersebut tertuang dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor X/MPR/1998 Tahun 1998 tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara, Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Ketetapan MPR Nomor VII/MPR/2000 Tahun 2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia.
”Dwifungsi ABRI menyebabkan demokrasi tidak berjalan serta krisis dalam negara maupun masyarakat. Ranah sipil diambil alih dan sangat berbahaya. Aturan sudah ada dan jelas. Tidak boleh dilupakan maupun diabaikan,” kata Asfinawati.
Asfinawati menyebutkan, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia belum dijalankan secara maksimal oleh TNI sebagai acuan reformasi. Pendidikan dan promosi belum sepenuhnya mempertimbangkan kebutuhan, kompetensi, dan rekam jejak. Komando teritorial pun seharusnya dilikuidasi karena mengganggu sendi-sendi kehidupan sipil.
Dampak dari belum maksimalnya TNI menjalankan agenda reformasi adalah penumpukan perwira tanpa jabatan dan pelibatan lagi dalam ranah sipil sebagai solusi.
Direktur Imparsial Al Araf menambahkan, reorganisasi seharusnya mempertimbangkan perkembangan dunia. TNI sebagai garda pertahanan negara harus mengembangkan profesionalisme prajurit, penggunaan teknologi, dan memperkuat satuan tempur.
TNI sebagai garda pertahanan negara harus mengembangkan profesionalisme prajurit, penggunaan teknologi, dan memperkuat satuan tempur.
”Dunia memasuki perang asimetris dengan teknologi. Kebutuhannya ialah kualitas, bukan kuantitas pasukan. Selain itu, satuan yang tidak efisien harusnya dilikuidasi untuk efektivitas anggaran. Bukan sebaliknya, menambah beban anggaran gaji pasukan,” ucap Al Araf.
Penguatan satuan tempur di area perbatasan menjadi penting. Namun, satuan tersebut murni untuk pertahanan negara dan tidak dilibatkan dalam ranah sipil. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)