Margin Perdagangan dan Pengangkutan Komoditas Pangan Turun
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Pola distribusi sejumlah komoditas pangan menunjukkan adanya penurunan margin perdagangan dan pengangkutan atau MPP. Meskipun demikian, penurunan ini dinilai belum berdampak signifikan pada penurunan inflasi pangan.
Badan Pusat Statistik (BPS) pada Jumat (15/2/2019) merilis data MPP pada 2017. Ada delapan komoditas pangan yang paling banyak dikonsumsi, membentuk inflasi, dan berkontribusi pada produk domestik bruto.
Delapan komoditas itu yakni, beras medium, cabai merah, bawang merah, daging sapi, daging ayam ras, telur ayam ras, gula pasir, dan minyak goreng. Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, cakupan data MPP tidak meliputi distribusi lintas provinsi.
Secara umum, nilai proporsi MPP kedelapan komoditas terhadap harga di tingkat konsumen mengalami penurunan. "Penurunan signifikan terjadi apabila ada mata rantai distribusi komoditas pangan yang hilang," ucap Suhariyanto.
Suhariyanto mencontohkan cabai merah. Pada 2016, ada mata rantai pengepul di antara petani dan pedagang grosir yang nilai MPP di titik itu sebesar 15,56 persen. Angka MPP untuk cabai merah pada 2016 menjadi 61,05 persen.
Penurunan signifikan terjadi apabila ada mata rantai distribusi komoditas pangan yang hilang
Pada 2017, rata-rata petani cabai merah langsung menjual ke pedagang grosir, tanpa adanya mata rantai pengepul. Imbasnya, MPP total cabai merah nasional pada 2017 turun menjadi 47,10 persen.
Akan tetapi, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Rusli Abdullah menilai, turunnya MPP belum berpengaruh signifikan pada penurunan inflasi pangan. Kenaikan indeks harga konsumsi atau laju inflasi bahan makanan pada 2017 berkisar 1,26 persen dibandingkan dengan tahun 2016.
Turunnya MPP belum berpengaruh signifikan pada penurunan inflasi pangan
Data MPP 2017 ini, menurut Rusli, menjadi gambaran bagi pemerintah untuk menentukan titik mata rantai yang berpengaruh signifikan terhadap pembentukan harga. "Pemerintah dapat intervensi titik mata rantai tersebut. Misalnya dengan satuan tugas pangan yang tampaknya berhasil menurunkan MPP pada 2017," ujarnya saat dihubungi, Jumat.
Namun, Rusli menyatakan, pemerintah tidak boleh abai pada tingginya harga di hulu produksi. Intervensi dan kebijakan di hulu dari pemerintah tetap dibutuhkan.
Hal itu terjadi pada komoditas beras yang MPP totalnya pada 2017 turun menjadi 25,35 persen dari 26,12 persen pada 2016. BPS hanya mencakup MPP total beras dari penggilingan sebagai produsen, distributor, pedagang eceran atau swalayan, hingga konsumen. Harga gabah dari tingkat petani tidak dimasukkan.
Ketua Umum Persatuan Pengusaha Penggilingan Padi dan Beras (Perpadi) Sutarto Alimoeso mengatakan, kenaikan harga gabah sepanjang 2017 berdampak signifikan pada harga beras yang digiling. "Harga di penggilingan bergantung pada harga gabah di tingkat petani sebagai bahan bakunya," ucapnya.
Berdasarkan data BPS, sepanjang 2017, harga gabah kering panen di tingkat petani naik 8,05 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Seiring dengan kenaikan itu, harga beras medium meningkat 5,04 persen dibanding 2016.