Memadamkan Api dan Amarah Warga
Risiko keselamatan jiwa para pemadam kebakaran sudah jelas. Keracunan asap dan terpanggang api hanya sedikit di antaranya. Namun, di tengah balas jasa yang tidak seberapa, pemadam kebakaran punya risiko lain: amarah warga. Inilah kisah beban berlipat para penjinak si jago merah.
Minggu dini hari, satu setengah bulan yang lalu. Rombongan tim pemadam kebakaran dengan kendaraan-kendaraan bersirene melaju masuk ke permukiman Komplek Imigrasi, Kelurahan Tugu Utara, Kecamatan Koja, Jakarta Utara. Di Jalan Manggar, Blok C, api menyala di dalam salah satu rumah.
Di bagian depan rumah, para petugas pemadam bersiaga dengan mulut penyemprot (nozel) dari selang mengarah ke api. Sayang, air belum bisa segera mengalir karena got yang menjadi sumber air berjarak sekitar 200 meter dari lokasi kejadian dan terdapat sampah-sampah yang menyumbat. Tanpa air, tim belum bisa bergerak menghajar api.
Rupanya, kondisi ini menyulut emosi sejumlah warga. Kesabaran mereka makin minus karena takut api akan menjalar ke rumah di kiri dan kanan.
”Woi, lu, kan, pake baju antiapi. Maju dong ke dalem.”
”Pemadamnya masih punya anak!”
”Takut mati!”
”Makan gaji buta doang lu.”
”Masuk!”
Demikianlah ujaran-ujaran yang diteriakkan ke arah pemadam. Situasi makin panas ketika satu warga mendorong seorang anggota tim penyelamat, Dendy Sagita (35), ke arah kebakaran. Sejumlah warga mengira pakaian berwarna oranye yang dikenakan para pemadam bisa menahan api sehingga tidak perlu takut mendekat.
”Maaf, ya, Pak, ini antipanas doang, bukan antiapi,” jawab Dendy kepada warga yang mendorong-dorong itu. Ia memilih tidak balas mendorong dan berusaha melanjutkan tugas sesuai prosedur.
Walau sebagian orang mengompori situasi, tidak sedikit warga yang memberi semangat kepada para pemadam. Ini lumayan menyejukkan hati mereka yang juga harus menjaga fokus dalam menangani api. Tim menuntaskan tugas pukul 03.47, satu jam sejak menerima laporan. Kebakaran bisa dilokalisasi pada satu rumah saja.
”Pengalaman seperti itu saya baru mengalami,” ujar Dendy saat mengenang umpatan yang diterimanya dari sejumlah warga, Minggu (3/2/2019), di kantor Suku Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (Sudin PKP) Jakarta Utara, di Semper Barat, Jakarta Utara.
Pria berkacamata ini sudah berpengalaman sejak 2008 sebagai pemadam kebakaran, tetapi selama sembilan tahun, karier kepemadamannya dihabiskan di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Tidak pernah sekali pun ia menghadapi amarah warga di pelabuhan.
Mulai Januari 2018, Dendy bergabung dalam skuad penanggulangan kebakaran dan penyelamatan di Jakarta Utara. Kondisi sosial yang lebih dinamis dibanding saat hanya berkutat di pelabuhan mesti dihadapi. Apalagi, permukiman padat bangunan tersebar di Jakarta Utara dari Kamal Muara di barat hingga ke Marunda dan Rorotan di timur.
Untungnya, menurut Dendy, ia pada dasarnya memang tidak mudah marah. Selama hanya berupa dorongan, tidak sampai pada kekerasan semacam pukulan atau tendangan, ia tidak mempermasalahkannya. ”Kalau waktu itu saya membalas, mungkin videonya tidak viral. Ha-ha-ha,” ujarnya.
Peristiwa yang dialami Dendy di Kompleks Imigrasi bisa dilihat dalam unggahan di Youtube berjudul ”Dicaci Maki Pun Kami Akan Tetap Bertugas! Jaya 65!”. Selama 31 Desember 2018-13 Februari, video telah ditonton lebih dari 217.000 kali. Sebanyak 6.100 orang menyukai unggahan itu.
Adalah Fikri Naufal (20), rekan seangkatan Dendy, yang merekam dan menyebarluaskannya menggunakan kamera aksi di helmnya. Sejak sebelum menjadi anggota tim penyelamat di Sudin PKP Jakarta Utara, ia sudah hobi membuat video blog (vlog) dan diunggah di akun Youtube-nya, kebanyakan soal aktivitasnya saat berkendara sepeda motor. Setelah menjadi anggota pemadam kebakaran dan penyelamat, ia fokus menggarap konten kehidupan para pemadam.
Fikri seperti memberikan matanya bagi masyarakat luas agar melihat lebih dekat risiko dan tantangan yang mesti dihadapi pemadam. Ini juga karena ia kerap geregetan dengan sikap sejumlah warga saat tim pemadam bekerja.
”Banyak masyarakat yang ingin ikut memadamkan dengan cara merebut peralatan petugas, bahkan ada yang mengatur-atur petugas,” katanya.
Padahal, untuk bisa terjun memadamkan api, prosesnya tidak mudah. Fikri, misalnya, tidak bisa berada di lini depan selama belum menerima pelatihan. Ia baru mengikuti program pendidikan dan pelatihan 100 jam selama dua pekan pada bulan Juli. Materi antara lain cara memadamkan api, pertolongan pertama pada korban, menyelamatkan diri saat terjebak di gedung sempit dan gelap, dan melewati api.
Sebelum video cacian pada Dendy dan kawan-kawan viral, pengalaman pahit serupa sudah berlangsung sejak dulu. Pemadam senior di Sudin PKP Jakarta Utara, Dede Bayu (50), mengingat, pada tahun 1992, ia ikut menangani kebakaran di Kalibaru, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Warga yang emosi merebut nozel selang dari petugas.
”Bapak jagain saja rumah saya di sini,” ujarnya menirukan ucapan sombong oknum warga.
Bayu pun berpikir, jika pemadam sama-sama keras, warga semakin mengamuk. Karena itu, ia membiarkan warga tadi mengambil peralatan pemadam dan berusaha menjinakkan api sendiri. Ternyata, warga itu kembali lagi karena tidak tahan dengan panas yang menguar dari api lalu menyerahkan alat kepada petugas.
”Baik Pak, kalau Bapak merasa panas, serahkan pada petugas yang sudah menggunakan APD (alat pelindung diri) lengkap,” tutur Bayu kala itu. Akhirnya, pemadaman pun bisa berjalan lancar.
Namun, sampai kapan para pemadam harus terbebani situasi seperti itu terus? Sementara frekuensi kebakaran di Jakarta pun sudah melelahkan mereka.
Data Dinas PKP DKI menunjukkan, 1.751 kebakaran terjadi di Jakarta sepanjang 2018, naik 19 persen dibanding tahun 2017 yang sebanyak 1.471 kejadian. Jika dibuat rata-rata, setidaknya empat kebakaran terjadi di DKI per hari pada 2018 dan 2017.
Perlu diingat, beban para petugas di bawah Dinas PKP bukan hanya menangani kebakaran. Mereka juga harus siap menjalankan operasi penyelamatan seperti pada saat bangunan runtuh, evakuasi korban banjir, pencarian orang hilang, serta operasi pengendalian hewan (evakuasi sarang tawon, kucing, dan ular). Pada tahun 2018, ada 1.217 operasi penyelamatan.
Di balik itu, sebagian petugas pemadam bekerja dengan upah sekitar Rp 3,9 juta per bulan. Itu lantaran mereka berstatus penyedia jasa lainnya orang perorangan (PJLP), istilah terkini untuk pekerja harian lepas (PHL) alias pegawai kontrak. Dendy dan Fikri adalah dua di antaranya.
Pegawai Dinas PKP DKI berjumlah 4.462 orang, dengan 39,35 persennya atau 1.756 orang berstatus PJLP. Sudah digaji rendah, mempertaruhkan nyawa, dimaki pula!
Karena itu, mari kita, warga Ibu Kota pada khususnya dan Indonesia pada umumnya, membantu meringankan beban para pemadam. Caranya bukan dengan mengambil alat pemadam dan ikut menjinakkan api karena tanpa alat dan keahlian memadai, kita bisa ikut jadi korban.
Kepala Seksi Operasi Sudin PKP Jakarta Utara Abdul Wahid memberitahukan cara mudah membantu para pemadam. Cara itu, antara lain, tidak menghalangi laju kendaraan pemadam di jalan, tidak parkir di badan jalan, dan tidak menonton kebakaran karena bukan tidak mungkin penonton kebakaran keracunan asap.
Yang paling utama, tentu mencegah kebakaran terjadi. Sebanyak 61 persen kejadian kebakaran tahun lalu dipicu oleh masalah listrik. Jadi, pastikan instalasi listrik rumah dalam kondisi baik, tidak meninggalkan rumah saat masih ada perangkat elektronik tersambung listrik dan tidak menggunakan steker secara bertumpuk. ”Sebab, kebakaran adalah buah dari kegagalan pencegahan,” kata Wahid.
Jika kita melakukan itu semua, tentu akan menjadi kado terindah bagi pemadam kebakaran di seluruh Indonesia yang akan berulang tahun ke-100 pada 1 Maret mendatang.