Menghindari Dampak Kerugian Bencana Alam
Kaleidoskop Bencana yang dikeluarkan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) akhir tahun 2018 menyiratkan satu pesan, bencana alam semakin mendekat dalam hidup kita. Masyarakat kini harus lebih siap menghadapi semua potensi bencana alam seiring dengan makin meningkatnya dampak kerusakan akibat bencana.
Dalam peluncuran Buku Saku Menghadapi Bencana tahun 2018, Kepala Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengibaratkan tahun 2108 sebagai ”tahun bencana”. Bencana yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia sepanjang tahun itu cenderung menurun dibandingkan tahun 2017, tetapi dengan dampak yang lebih luar biasa merusak.
Sebagai gambaran, gempa bumi di Lombok dan Sumbawa telah menimbulkan kerusakan dan kerugian materiil Rp 17,13 triliun. Begitu juga gempa bumi dan tsunami di Sulawesi Tengah, yang menyebabkan kerugian dan kerusakan lebih dari Rp 18,48 triliun. Jumlah ini belum ditambah dampak tsunami Laut Sunda yang memorak-porandakan pesisir Lampung Selatan dan Pandeglang, Banten, di pengujung tahun lalu.
Tahun 2108 adalah tahun bencana alam jika melihat dampaknya.
Merunut data BNPB, dari awal tahun 2018 hingga 14 Desember 2018 (atau sebelum terjadi tsunami Laut Sunda), jumlah kejadian bencana di Indonesia mencapai 2.426 kejadian. Jumlah ini turun dibandingkan tahun 2017 yang sebanyak 2.737, atau turun 11,36 persen. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kejadian bencana didominasi oleh bencana hidrometeorologis, termasuk banjir, angin puting beliung, dan tanah longsor.
Tak kurang terjadi 2.350 bencana hidrometeorologis atau hampir 97 persen yang mendominasi seluruh kejadian bencana di tahun 2018, sisanya sekitar 3 persen (76 kejadian bencana) adalah bencana geologis.
Jumlah kejadian bencana geologis relatif sangat kecil, tetapi menimbulkan dampak yang sangat besar, contohnya gempa di Lombok-Sumbawa serta gempa dan tsunami yang menerjang wilayah Palu dan sekitarnya.
Jika ditilik dari jumlah korban, kejadian bencana di tahun 2018 mengakibatkan 4.231 orang meninggal dan hilang, 6.948 orang luka-luka, total 9,9 juta orang mengungsi dan terdampak, serta 374.023 rumah rusak. Jumlah ini belum termasuk korban bencana tsunami Laut Sunda yang hingga 5 Januari 2019 sudah menyebabkan 437 orang meninggal, 9.061 orang luka, 10 orang hilang dan 16.198 orang mengungsi.
Di Kabupaten Pandeglang sebanyak 1.071 rumah rusak berat dan rusak sedang, dan 457 rumah rusak ringan, sementara itu di Kabupaten Lampung Selatan tercatat sebanyak 543 rumah rusak berat, 70 rumah rusak sedang, dan 97 rumah rusak ringan.
Dengan membandingkan angka-angka statistik kebencanaan dua tahun tersebut, tahun 2018 ini jauh lebih ”mematikan” dibandingkan tahun 2017. Kendati tahun 2018 kejadian bencana turun 11,36 persen dibandingkan tahun 2017, jumlah korban meninggal dan hilang naik drastis sebanyak 1.072 persen.
Selain itu, korban mengungsi dan terdampak juga naik 176 persen. Adapun jumlah rumah rusak meningkat luar biasa, yakni naik hingga mencapai 3.559 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Penyebab tingginya dampak bencana pada tahun 2018 adalah karena kejadian gempa bumi di Nusa Tenggara Barat (Pulau Lombok dan Sumbawa) serta gempa bumi yang disusul tsunami dan likuefaksi di Sulawesi Tengah.
Gempa bumi diikuti tsunami dan likuefaksi di Sulawesi Tengah ini sudah menyebabkan 3.397 orang meninggal, 4.426 orang luka-luka, 221.450 orang mengungsi dan terdampak, dan 69.139 rumah rusak berat. Artinya, 80 persen lebih korban meninggal akibat bencana di tahun 2018 adalah karena gempa, tsunami, dan likuefaksi di Sulawesi Tengah.
Bencana hidrometeorologis bisa diprediksi
Menurut Junun Sartohadi, pakar mitigasi bencana yang juga Guru Besar Imu Tanah Universitas Gadjah Mada, kerugian akibat bencana alam lebih ditentukan oleh lokasi kejadian bencananya.
Jika kejadian bencana mengenai kawasan yang padat penduduk, kerugiannya makin besar. Demikian juga apabila sebuah bencana mengenai kawasan yang terbangun, akan menimbulkan kerugian materiil yang besar.
Berkaitan dengan dampak bencana hidrometeorologis, terkenanya sebuah kawasan permukiman yang padat penduduk dan kawasan terbangun oleh kejadian bencana menunjukkan bahwa mitigasi bencana belum efektif dan efisien dilakukan di kawasan permukiman. Apabila ada kejadian bencana akan menimbulkan kerugian yang besar.
Untuk mengatasi hal tersebut, perlu usaha mitigasi yang masif, baik dari segi antisipasi maupun respons. Salah satu respons misalnya dengan cara penanaman pohon, khususnya di kawasan hutan, dengan tujuan mengelola aliran limpasan air hujan baik volume maupun kecepatannya. Dari segi antisipasi, bencana yang disebabkan faktor hidrometeorologis sebenarnya bisa diprediksi dengan akurasi yang tinggi saat ini.
Hanya saja, menurut Junun, di Indonesia stasiun pengamatan meterorologi secara spasial kerapatannya masih sangat kurang. Prediksi kejadian hidrometeorologis bersifat masih global dan belum diterjemahkan secara lokal-lokal tertentu, misalnya terkait hadap lereng; sudut lereng, sehingga kejadian hidrometeorologis terhadap longsor tidak dapat diprediksikan dengan baik.
Wilayah Indonesia yang reliefnya permukaan buminya kasar dan ukurannya kecil-kecil perlu kerapatan stasiun meteorologi yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawasan negara-negara benua, seperti negara-negara di Eropa, Amerika, Australia, dan China.
Oleh karena itu, pembangunan stasiun-stasiun pengamatan meteorologi terutama di daerah-daerah rawan bencana menjadi prioritas saat ini. Setiap kelompok masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana nantinya bisa memantau sendiri kondisi cuaca di wilayahnya.
Dengan demikian, masyarakat bisa menjadi lebih siap menghadapi bencana yang akan terjadi karena mereka bisa memprediksi sebelumnya. Alhasil, kerugian sebagai dampak dari bencana diharapkan akan jauh lebih berkurang, dan kerugian materiil maupun non-materiil yang bisa dihindari semakin banyak.