Harga minyak mentah belum stabil dan masih fluktuatif. Harga batubara cenderung turun seiring pengetatan impor India dan China. Kedua negara itu adalah pasar penting batubara asal Indonesia.
Oleh karena itu, visi yang tepat dari pemerintahan periode 2019-2024 sangat dibutuhkan. Mengapa? Sebab, Indonesia adalah negara pengimpor minyak sejak 2004. Produksi minyak di dalam negeri kurang dari 800.000 barrel per hari, sedangkan konsumsi bahan bakar minyak nasional per hari mencapai 1,5 juta barrel sampai 1,6 juta barrel. Sisanya dipenuhi dari impor yang nilainya bergantung pada volume, harga minyak mentah, dan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.
Dampaknya bisa dibilang cukup serius terhadap neraca perdagangan Indonesia, yaitu defisit. Serupa dengan batubara yang harganya fluktuatif, kejatuhan harga batubara pada 2015-2016 membuat industri batubara dalam negeri lesu. Bahkan, pengusaha batubara sempat tak berani menjamin kecukupan pasokan untuk program pembangkit listrik 35.000 megawatt lantaran harga jual batubara di kisaran 50 dollar AS per ton dianggap tak lagi ekonomis.
Dampaknya bisa dibilang cukup serius terhadap neraca perdagangan Indonesia, yaitu defisit.
Sebaliknya, harga batubara yang tinggi dan sempat melewati 100 dollar AS per ton pada pertengahan 2018, sangat diandalkan pemerintah untuk mengumpulkan devisa. Pemerintah, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menambah kuota ekspor sehingga realisasi produksi 2018 mencapai 528 juta ton, melampaui rencana pembatasan produksi yang sebanyak 403 juta ton. Mumpung harga sedang bagus, begitu kira-kira yang ada di benak pemerintah.
Sejumlah kalangan menilai situasi itu patut dicemaskan. Indonesia, dalam memenuhi kebutuhan energinya, sangat bergantung pada migas dan batubara, yang bukan jenis terbarukan. Harga komoditas itu juga tak bisa dikendalikan atau sepenuhnya bergantung pada pasar. Hal ini akan menjadi masalah bagi Indonesia tatkala harganya naik, posisi rupiah terhadap dollar AS melemah, dan permintaan energi membengkak. Sudah bisa ditebak, defisit kian dalam.
Lalu, bagaimana sebaiknya? Debat calon presiden yang dilaksanakan pada Minggu (17/2) diharapkan dapat melahirkan visi pemerintahan terpilih periode 2019-2024, sekaligus jalan keluar dari ketergantungan Indonesia pada sumber energi fosil. Energi merupakan salah satu topik bahasan.
Beberapa solusi ditawarkan adalah menyegerakan transisi energi dari sumber fosil menuju sumber terbarukan. Hal ini bukan berarti sama sekali meninggalkan energi fosil, tetapi mempercepat optimalisasi sumber energi terbarukan, seperti panas bumi, hidro, tenaga bayu, tenaga surya, dan bahan bakar nabati. Indonesia adalah gudang sumber energi terbarukan, tetapi belum bisa lepas dari ketergantungan terhadap energi fosil. Dalam bauran sumber energi primer pembangkit listrik, misalnya, porsi energi terbarukan kurang dari 13 persen. Artinya, energi fosil masih memegang kendali sampai 87 persen.
Solusi lain, dengan mempercepat hilirisasi atau peningkatan nilai tambah batubara dan mineral di dalam negeri. Batubara bisa diolah menghasilkan dimetileter (gasifikasi batubara), bahan baku utama elpiji. Sebab, 70 persen kebutuhan elpiji nasional yang mencapai hampir 7 juta ton per tahun harus diimpor. PT Bukit Asam Tbk sudah memulai hilirisasi tersebut dengan menggandeng sejumlah pihak dan diharapkan beroperasi secara komersial mulai 2022.
Di sektor mineral, hilirisasi belum optimal. Misalnya, mineral jenis tembaga, bauksit, atau nikel, sebagian besar produk olahannya masih diekspor lantaran terbatasnya industri smelter di dalam negeri. Padahal, mineral jenis tersebut menjadi kunci penggerak industri manufaktur. Hampir semua bahan baku produk manufaktur memerlukan mineral-mineral tersebut.
Persoalannya, semua itu tak bisa dilakukan semudah mengedipkan mata. Perlu proses panjang bertahun-tahun, kerja keras, dan keteguhan alias konsistensi.
Niat politik? Jelas perlu. Kebijakan yang konsisten dan mendukung penguatan hilirisasi wajib ada. Tanpa itu semua, seperti yang sudah-sudah, rencana kebijakan atau peta jalan hilirisasi maupun transisi energi menuju sumber yang terbarukan akan tinggal rencana. (Aris Prasetyo)