JAKARTA, KOMPAS — Kelembagaan pengelolaan pangan perikanan diharapkan menjadi terobosan program kerja pemerintah. Saat ini, ada kecenderungan sektor perikanan sebagai pilar ketahanan pangan tidak lagi menjadi isu prioritas dalam strategi kebijakan calon presiden dan wakil presiden.
Dalam empat tahun terakhir, pemberantasan perikanan ilegal dan pembangunan perikanan berdampak signifikan terhadap peningkatan stok ikan nasional, dari 6,5 juta ton pada 2014 menjadi 13,1 juta ton pada 2017. Akan tetapi, peningkatan stok ikan belum sejalan dengan kenaikan pengelolaan potensi perikanan tangkap. Bahkan, pertumbuhan produksi perikanan tangkap cenderung tetap, sekitar 6 juta ton per tahun.
”Kalau pemanfaatan sumber daya ikan lestari tidak optimal, berdasarkan hukum laut internasional, Indonesia berkewajiban membuka akses terhadap stok ikan bagi negara lain. Ini bisa jadi kerugian buat negara kita,” kata Ketua Pelaksana Harian Dewan Pimpinan Pusat Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Marthin Hadiwinata di Jakarta, Kamis (14/2/2019).
Ia menyampaikan hal itu dalam Diskusi Publik ”Proyeksi Perikanan Pasca-2019 dan Bedah Visi-Misi Program Capres-Cawapres 2019” yang diselenggarakan Dewan Pengurus Pusat KNTI. Dalam debat Capres-Cawapres 2019-2024 pada Minggu (17/2/2019), terobosan di sektor kelautan dan perikanan diharapkan menjadi salah satu hal utama dalam program kerja pasangan calon.
Marthin menambahkan, penjabaran visi-misi pasangan capres-cawapres 2019-2024 belum memperlihatkan terobosan program kerja kelautan dan perikanan. Di sisi lain, pengelolaan sektor perikanan masih menghadapi tantangan besar.
Pada 2017, produksi perikanan tangkap sekitar 6,5 juta ton atau 50 persen dari stok ikan nasional. Jumlah ini di bawah angka pemanfaatan optimal sumber daya ikan secara lestari, yakni 80 persen dari stok ikan nasional.
Sementara, komoditas ikan segar pada 2017 dan 2018 justru memberikan andil terhadap kenaikan inflasi. Persoalan logistik ikan yang belum optimal menyebabkan harga ikan sangat fluktuatif, yakni anjlok pada masa panen dan melonjak di saat paceklik.
”Logistik perikanan belum mendukung harga pangan. Kelembagaan pengelolaan pangan perikanan perlu diperjelas untuk bisa menjadi pengawas dan pengendali hasil perikanan,” katanya.
Pembina KNTI Chalid Muhammad mengemukakan, isu substantif cenderung tidak muncul ke permukaan. Pemerintah perlu mengusung kebijakan yang komprehensif tentang logistik hasil produksi, informasi pasar, tata niaga. Dengan demikian, tidak ada daerah yang penangkapannya berlebihan sehingga berdampak pada penurunan harga jual.
Ilegal
Kejaksaan Agung menyerahkan MV Silver Sea 2 kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) di Jakarta, Kamis.
Menteri KKP Susi Pudjiastuti di acara itu mengatakan, MV Silver Sea 2 merupakan bukti penegakan hukum dan kedaulatan sumber daya alam Indonesia.
Mengutip laman KKP, MV Silver Sea 2 berukuran 2.285 gros ton asal Thailand ini ditangkap pada 12 Agustus 2015 di perairan Sabang, Aceh, oleh TNI Angkatan Laut. Sebanyak 1.930 ton ikan campuran ditemukan di dalam kapal.
Setelah melalui proses hukum, nakhoda kapal Silver Sea 2 Yotin Kuarabiab, warga negara Thailand, dinyatakan bersalah karena melanggar Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Adapun dokumen kapal dan seluruh ikan yang diangkut dirampas untuk negara. Ikan sudah dilelang 24 Februari 2016.
Susi menambahkan, proses hukum terhadap Silver Sea 2 memberi efek jera bagi pelaku kejahatan perikanan di wilayah perairan Indonesia.
Pemerintah, kata Susi, memutuskan untuk menggunakan MV Silver Sea 2 sebagai kapal logistik yang menghubungkan daerah-daerah terpencil. ”Kapal penangkap ilegal yang biasanya ditangkap berukuran kecil dan terbuat dari kayu. Namun, Silver Sea 2 adalah kapal yang bagus dan besar,” kata Susi.
Silver Sea 2 adalah kapal yang bagus dan besar.
Jaksa Agung Prasetyo menambahkan, kejahatan penangkapan ikan secara ilegal merupakan tindak pidana serius. (LKT/LSA)