Tahun Politik Bukan Ancaman bagi Iklim Investasi
Setelah menghadapi gejolak perekonomian global pada 2018, Indonesia memasuki babak baru pada 2019. Tahun ini merupakan masa untuk mengadakan pesta demokrasi melalui Pemilu Presiden 2019.
Kendati berada dalam suasana ”pesta”, pertarungan sengit di antara dua pasangan, capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan capres-cawapres nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, menimbulkan pertanyaan. Apakah kontestasi politik yang bergulir akan memengaruhi iklim investasi Tanah Air?
Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dalam diskusi Wealth on Wealth yang diadakan Standard Chartered Bank, di Jakarta, Senin (11/2/2019) malam, mengatakan, sepanjang sejarah bangsa Indonesia, belum pernah ada peristiwa politik yang memberikan dampak negatif langsung terhadap performa indikator perekonomian bangsa.
”Kalau mau bicara ekstrem, fakta sejarah yang ada justru masalah perekonomian yang memberikan banyak pengaruh pada kondisi politik,” kata Yunarto.
Salah satu peristiwa besar yang dapat menjadi contoh adalah lengsernya Presiden Soeharto pada masa krisis moneter 1998. Dalam laporan tahunan 1998/1999 dari Bank Indonesia (BI), pertumbuhan ekonomi mengalami kontraksi sebesar 13,7 persen pada tahun 1998. Laju inflasi mencapai 45,4 persen dan permintaan domestik mengalami kontraksi 17,6 persen.
Kondisi tersebut membuat produk domestik bruto (PDB) riil menyusut 13,7 persen karena kegiatan investasi dan konsumsi merosot tajam.
Yunarto melanjutkan, kegaduhan yang timbul terkait Pilpres 2019 lebih banyak terjadi di dalam dunia maya, bukan dunia nyata. Sudah banyak riset yang menunjukkan pengguna internet di Indonesia termasuk yang paling aktif. Namun, kegaduhan biasanya tidak berlanjut di kehidupan sehari-hari.
Baca juga: Resiliensi Pasar Modal di Tahun Politik Cukup Kuat
Indonesia tidak pernah mengalami kerusuhan luar biasa, terutama saat ataupun setelah hasil pilpres diumumkan. Di Honduras, misalnya, pilpres rusuh dan menyebabkan korban tewas setelah kandidat petahana Presiden Juan Orlando Hernandez dan rivalnya, Salvador Nasralla, sama-sama menyatakan menang pada 2017.
”Pemilu Indonesia minim konflik. Bahkan, lembaga riset di luar negeri belajar dari pemilu di Indonesia karena memiliki konteks tingkat pendidikan pemilih yang rendah, tetapi multikultural. Namun, ujung-ujungnya pemilu tetap berakhir dengan damai,” tutur Yunarto.
Managing Director and Head Wealth Management Standard Chartered Bank Bambang Simarno menyampaikan, pasar saham justru menunjukkan performa yang positif pada tahun-tahun politik.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), performa Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tetap bertumbuh positif pada saat pilpres digelar. Pertumbuhan IHSG pada Pilpres 2009 dan 2014 masing-masing sebesar 86,98 persen dan 22,29 persen.
Baru pada 2018, kinerja IHSG minus 2,54 persen. Penurunan terjadi karena tekanan dua sisi terhadap perekonomian Indonesia. Dari sisi domestik ada masalah defisit neraca perdagangan, sedangkan dari sisi eksternal terdapat perang dagang Amerika Serikat-China dan kenaikan suku bunga The Fed, bank sentral AS.
”Pada awal tahun 2019, IHSG telah berada di level 6.500. Ini sangat baik karena dana asing banyak yang kembali masuk sehingga laba pendapatan perusahaan akan lebih meningkat,” ucap Bambang.
Dalam kesempatan yang berbeda, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menambahkan, setiap presiden terpilih akan menghadapi tantangan yang sama untuk mengembangkan sektor perekonomian, yakni perbaikan fundamental perekonomian serta gejolak perekonomian global.
”Presiden terpilih pada umumnya pasti akan berhadapan dengan kondisi riil. Presiden Joko Widodo sebelumnya menargetkan pertumbuhan ekonomi hingga 7 persen, tetapi hanya mencapai 5 persen sehingga harus membuka ruang untuk investasi masuk,” ujar Burhanuddin dalam DBS Asian Insight Conference 2019, beberapa waktu lalu.
Setiap presiden terpilih akan menghadapi tantangan yang sama untuk mengembangkan sektor perekonomian, yakni perbaikan fundamental perekonomian serta gejolak perekonomian global.
Kondisi serupa, lanjutnya, juga akan dialami Prabowo Subianto jika terpilih sebagai presiden. Tidak ada perubahan drastis yang dapat dilakukan presiden terpilih di sektor ekonomi karena masih harus menghadapi tantangan yang sama.
Perang dagang
Ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan Chatib Basri menyampaikan, investor justru harus mewaspadai gejolak perekonomian global dalam membuat keputusan. Khususnya, ancaman memburuknya perang dagang antara AS dan China.
”Perang dagang dapat mengganggu pasar global. Ketika produsen dari China tidak bisa masuk pasar AS, mereka akan mencari pasar lain, seperti Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Ini akan memengaruhi iklim investasi,” ucapnya.
Saat ini, kondisi perekonomian Indonesia dan negara berkembang lainnya mulai membaik sebab bank sentral AS, The Fed, tidak menaikkan suku bunga pada awal 2019. Modal asing portofolio kembali mengalir keluar dari AS. Perbaikan ini didukung oleh menurunnya harga minyak dunia dan terjaganya inflasi selama empat tahun terakhir.
Oleh karena itu, ujarnya, iklim investasi Indonesia sedang menunjukkan gejala peningkatan (bullish). Jadi, tahun 2019 merupakan waktu yang baik untuk berinvestasi.