JAKARTA, KOMPAS – Debat kedua calon presiden pada 17 Februari 2019 diharapkan membawa adu gagasan akan strategi dalam pembaruan mendasar pertumbuhan ekonomi yang kini masih menggantungkan diri pada industri ekstraktif. Membawa Indonesia dalam tata kelola sumber daya alam yang berkeadilan serta melepaskan diri dari sumber energi fosil menuju energi terbarukan menjadi harapan bagi presiden terpilih mendatang.
Hal-hal ini dinilai krusial karena eksploitasi besar-besaran sumber daya alam berupa tambang dan kebun yang berlangsung sejak dekade terbukti belum membawa Indonesia keluar dari masalah kesejahteraan. Industri dan praktik pertumbuhan ekonomi ekstraktif pun dinilai akan makin membawa Indonesia terpuruk dalam jebakan berbagai bencana hidrometeorologis serta perubahan iklim yang ujungnya menghancurkan pertumbuhan ekonomi.
“Kita tak punya margin maupun kemewahan waktu untuk tak segera melakukan perubahan mendasar pembangunan ekonomi yang ekstraktif dan rakus lahan yang biasanya diiringi penyingkiran akan ruang hidup masyarakat adat dan masyarakat lokal,” kata Khalisah Khalid, Koordinator Koalisi Golongan Hutan yang terdiri sejumlah organisasi masyarakat sipil, Jumat (15/2/2019), di Jakarta.
Ia menyebutkan berbagai bencana, konflik, dan kriminalisasi pegiat lingkungan menunjukkan belum ada upaya perbaikan kualitas lingkungan hidup dan tata kelola sumber daya alam. Diakuinya, masalah itu tak dapat diatasi dengan mudah karena terjadi dari rezim ke rezim.
“Harus ada political will dari presiden agar permasalahan ini diselesaikan dan beralih ke ekonomi pemulihan,” kata dia.
Harus ada political will dari presiden agar permasalahan ini diselesaikan dan beralih ke ekonomi pemulihan.
Salah satu hal yang bisa dilakukan, kata Leonard Simanjuntak, Kepala Greenpeace Indonesia, setiap calon presiden berani membuka aliran dana dukungan kampanye dari seluruh pihak. Dari laporan Koalisi #BersihkanIndonesia, kedua kubu yang bertarung dalam pilpres memiliki keterkaitan dengan bisnis ekstraktif yang rawan konflik kepentingan.
Konflik kepentingan
Konflik kepentingan bisnis yang memasuki proses demokrasi itu bersenyawa dengan mahalnya biaya politik. Hasilnya disinyalir menciptakan praktif koruptif perizinan “balas budi” yang menciptakan lingkaran setan. “Dominasi kekuatan ekonomi dan oligarki yang berlangsung lama membuat kebijakan ekonomi menekan lingkungan serta masyarakat,” kata dia.
Dominasi kekuatan ekonomi dan oligarki yang berlangsung lama membuat kebijakan ekonomi menekan lingkungan serta masyarakat.
Ririn Sefsani, team leader Human Rights Defender Kemitraan mengatakan kebijakan perbaikan tata kelola sumber daya alam – hutan dan lahan misalnya – agar tetap dilanjutkan pemerintahan mendatang. Kebijakan yang dimaksudnya berupa moratorium izin baru kehutanan di hutan primer dan gambut serta moratorium perizinan kelapa sawit.
Kebijakan-kebijakan ini, lanjutnya, perlu diperkuat dengan penetapan target terukur, reformasi kebijakan perizinan, dan penegakan hukum. Target tersebut misalnya perbaikan tata ruang serta keterbukaan perizinan kehutanan maupun perkebunan.
Dahniar Andriani Direktur Eksekutif HuMa mengingatkan, hingga kini Ketetapan MPR Nomor 9 Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam belum dikerjakan. Beberapa hal yang dimandatkan yaitu revisi seluruh UU terkait sumber daya alam serta penyelesaian sengkarut dan tumpang tindih kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Jika itu dijalankan, perbaikan mendasar bisa dilakukan dan membantu Indonesia melepaskan diri dari lilitan salah kelola sumber daya alam.
Leonard Simanjuntak mengingatkan perubahan mendasar dalam strategi ekonomi dunia juga menjadi amanat panel ahli perubahan iklim antarpemerintah (IPCC). Sumber-sumber perekonomian baru yang ramah lingkungan dan iklim dibutuhkan agar bumi bisa bertahan dari fenomena penghangatan global yang kian kerap terjadi.
“IPCC menyatakan kita hanya punya waktu 12 tahun untuk melakukan perbaikan fundamental dalam tata kelola ekonomi dan lingkungan,” katanya. Komitmen penurunan emisi 29-41 persen yang dijanjikan Indonesia serta komitmen negara-negara lain pun bila tercapai pada 2030 masih membawa bumi pada penghangatan 3,5 derajat celsius.