Pemerintah dan sejumlah pihak perlu membantu nelayan meningkatkan kualitas tangkapan ikan. Langkah ini perlu dilakukan agar produk ikan nasional diterima pasar global.
AMBON, KOMPAS Momentum peningkatan produksi perikanan di Maluku perlu diimbangi dengan peningkatan kualitas ikan yang premium. Hal ini mutlak diperlukan jika ingin kompetitif di pasar global. Saatnya pendampingan yang memadai bagi nelayan juga ditingkatkan.
Sebagian nelayan di Maluku masih menggunakan cara penangkapan ikan yang konvensional. Hasil tangkapan ikan ditampung selama lebih dari 10 jam di perahu motor sebelum dijual ke pengepul di darat.
Padahal, perlakuan setelah penangkapan sangat memengaruhi kualitas ikan. Contohnya tuna yang dibiarkan menggelepar lama setelah ditangkap akan menurunkan kadar proteinnya.
Yadi Bustan (44), nelayan pencari tuna asal Desa Kawa, Kecamatan Seram Barat, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, misalnya, mengaku tidak tahu pentingnya perlakuan khusus setelah penangkapan ikan.
Selama ini ia hanya memasukkan ikan hasil tangkapan ke dalam kotak berisi es yang jumlahnya terbatas lantaran kapasitas perahunya kurang dari 1 gros ton. ”Kami tidak mengerti ada cara-cara (perlakuan khusus pasca penangkapan ikan) begitu,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (14/2/2019).
Kondisi tangkapan ikan yang konvensional itu menyebabkan harga jual tuna sirip kuning di tingkat pengepul relatif murah, berkisar Rp 20.000-Rp 45.000 per kilogram. Sekadar membandingkan, harga tuna sirip kuning di restoran Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat, hampir 10 dollar AS atau Rp 140.000 tiap setengah ons.
Yadi pun berharap agar dinas perikanan setempat memberi pengarahan kepada nelayan lokal terkait penanganan hasil tangkapan. Dengan demikian, harga jual tuna bisa lebih tinggi daripada saat ini.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, berdasarkan data Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) Ambon, ekspor ikan dari Maluku tahun 2017 sebanyak 1.165 ton, meningkat menjadi 1.538 ton pada 2018. Pengiriman ke wilayah Nusantara tahun 2017 sebesar 17.228 ton, tahun berikutnya menjadi 109.065 ton (Kompas, 14/2/2019).
Kepala BKIPM Ambon Ashari Syarief mengatakan, kualitas tuna dari Maluku masih harus terus ditingkatkan. Kunci menjaga kualitas di tingkat nelayan. Alur ikan sebelum disertifikasi pihak karantina bergerak mulai dari tangan nelayan, pengumpul, hingga unit pengolahan ikan.
Dengan menjaga kualitas, ikan asal Maluku akan menjadi incaran importir dari negara lain. Menurut dia, hal ini menjadi peluang di tengah lesunya industri perikanan sejumlah negara, seperti Thailand.
”Momentum ini menjadi kesempatan bagi Indonesia untuk menaikkan volume ekspor dari sektor perikanan,” katanya.
Tantangan lainnya, negara tujuan ekspor juga menetapkan standar yang tinggi. Amerika Serikat, misalnya, tidak hanya meminta sertifikasi produk ikan, tetapi juga kapal penangkap harus disertifikasi. Peran pemerintah daerah sangat dibutuhkan dalam sertifikasi itu.
Berdasarkan informasi dari sejumlah pejabat National Ocean and Atmospheric Administration AS dan perusahaan di AS, produk tuna yang masuk ke AS harus jelas asal-usulnya.
Diperlukan data koordinat penangkapan, waktu penangkapan, jenis kapal, dan jenis alat tangkap. Informasi tentang pentingnya asal-usul ikan ini diperoleh saat Kompas mengikuti International Visitor Leadership Program yang digelar Departemen Luar Negeri AS, tahun lalu.
Gubernur Maluku Said Assagaff mengklaim masih terus melakukan pengorganisasian nelayan lewat pemberian bantuan kepada nelayan. Syarat menerima bantuan adalah nelayan wajib berada dalam kelompok.
”Memang daerah memiliki keterbatasan sumber daya. Kalau Maluku ditetapkan menjadi lumbung ikan nasional, prosesnya akan lebih mudah,” ujar Said. (FRN)