Langkah Raja Maha Vajiralongkorn berhasil meredakan ketegangan politik Thailand. Lewat titahnya, potensi ”benturan” antara kekuatan oligarki dan publik pun dapat diredam.
Titah Raja Maha Vajiralongkorn yang menyatakan pencalonan kakaknya, Putri Ubolratana Rajakanya Sirivadhana Barnavadi, menjadi calon perdana menteri sebagai tindakan tidak pantas memberikan angin segar kepada Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha. Sebagai petahana yang akan kembali maju lewat Partai Phalang Pracharat, langkahnya menjadi lebih mudah.
Apalagi, dalam perkembangan terakhir, Komisi Pemilihan Umum Thailand telah mengajukan pembubaran Partai Thai Raksa Chart, partai yang mengajukan Ubolratana menjadi calon perdana menteri. Alasan yang digunakan, Thai Raksa Chart melanggar undang-undang partai dan menentang sistem monarki konstitusional. Atas permohonan KPU, Mahkamah Konstitusi Thailand setuju untuk menyidangkannya (Kompas, Jumat, 15 Februari 2019).
”Peristiwa-peristiwa dari pekan lalu telah membuktikan bahwa dia masih memiliki kepercayaan raja,” kata seorang perwira militer senior kepada AFP tanpa menyebut nama. ”Dia tampaknya yakin dengan peluangnya untuk menang dan peristiwa-peristiwa terbaru membuktikan bahwa dia mungkin benar,” ucapnya.
Dinamika itu membuat cengkeraman Prayuth—saat memimpin kudeta tahun 2014 masih menjabat panglima angkatan bersenjata Thailand—pada kekuasaan kian kokoh. Ambisinya untuk membenamkan pengaruh mantan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra kembali memperoleh momentum.
Bagaimanapun juga—meskipun berada di pengasingan—pengaruh mantan perdana menteri yang digulingkan pada 2006 itu masih sangat besar. Populisme gaya Thaksin yang pertama kali memenangi pemilu pada 2001 itu membuat Thai Raksa Chart selalu meraih kemenangan di banyak pemilihan di Thailand.
Wartawan senior Salim Haji Said dalam bukunya berjudul Ini Bukan Kudeta menyebutkan, Thaksin—mantan perwira polisi dan juga seorang pebisnis andal—mempraktikkan beragam kebijakan populis. Rakyat miskin di Thailand, terutama mereka yang tinggal di luar Bangkok, mendapat banyak fasilitas seperti kredit murah dan asuransi kesehatan. Beras para petani pun dibeli dengan harga lebih tinggi daripada harga pasar.
Agenda kerakyatan
Langkah populis itu sebelumnya tidak pernah dipraktikkan oleh elite Thailand yang dikuasai kaum royalis yang adalah pendukung setia monarki, militer, birokrat, dan kaum kapitalis. Selain itu, kebijakan populis itu membuat Thaksin dan keluarganya kian populer dan itu menjadi ancaman bagi elite. Menurut Salim Said, itulah yang menjadi akar konflik politik Thailand. ”Pertikaian berdarah kedua kelompok ini berkepanjangan hingga saat militer merebut kekuasaan pada 2014”, tulis Salim.
Dalam sejarah modern Thailand—tetap merujuk pada buku Salim Said dan beberapa sumber lain—ide untuk lebih memperhatikan rakyat dan ”mengurangi” kekuasaan raja sesungguhnya muncul dari para perwira muda.
Kudeta militer pertama terjadi pada Juni 1932 lewat sekelompok perwira dan birokrat muda yang bergabung dalam Khatna Ratsadon atau Partai Rakyat. Mengutip Moshe Lissak dalam bukunya, Military Roles in Modernization, Civil Military Relations in Thailand and Burma, Salim Said menyebutkan, para perwira muda yang kebanyakan baru pulang dari belajar di Eropa itu berhasil mengubah Thailand dari sebuah kerajaan absolut menjadi kerajaan konstitusional dengan sistem parlementer.
Namun, gagasan untuk memberikan kekuasaan kepada rakyat yang menjadi tujuan gerakan, yang terinsipirasi oleh paham-paham sosialisme dan republikanisme Eropa, itu tidak terlaksana. Menegaskan itu, Salim mengutip buku Thailand: Student Activism and Political Change, yang ditulis Ross Prizzia dan Narong Sinsawadi, yang menulis, kekuasaan ternyata tetap berada di genggaman beberapa tangan saja…. Keikutsertaan rakyat dalam pemilu hanya memberikan legitimasi kepada para elite yang memenangi kudeta.
Oleh karena itu, tidak mengherankan saat Putri Ubolratana—yang adalah bagian dari monarki—mencalonkan diri menjadi PM lewat Thai Raksa Chart, langkah itu bisa mengubah wajah keseluruhan politik Thailand.
Jika Ubolratana tetap maju, ia tidak hanya akan menjadi penantang utama Prayuth Chan-ocha. Lebih dari itu, langkahnya berpotensi memecah aliansi elite serta membenamkan kelompok oligarki yang selama ini memanfaatkan legitimasi Raja.