Kolaborasi Bank-Tekfin Tingkatkan Akses Perkreditan Usaha Kecil
JAKARTA, KOMPAS – Bank dan perusahaan rintisan teknologi finansial mulai berkolaborasi meningkatkan akses perkreditan bagi usaha kecil. Salah satu fokusnya adalah pemanfaatan uang elektronik usaha kecil sebagai salah satu alat pembayaran era ini.
Penggunaan uang elektronik bagi usaha kecil itu akan memudahkan pencatatan keuangan. Di sisi lain, uang elektronik berpotensi meningkatkan usaha kecil tersebut, karena ditopang dengan peningkatan jumlah pemilik telepon pintar.
Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) mencatat, jumlah pemilik ponsel pintar diperkirakan akan menjadi lebih banyak daripada pemilik rekening bank. Kesenjangan antara ponsel cerdas dan rekening bank atara 2018 dan 2025 diperkirakan sebanyak 13 juta antara 2018 dan 2025
Chief Executive Officer (CEO) Go-Pay, Aldi Haryopratomo, Sabtu (16/2/2019), mengatakan, pembayaran nontunai dapat menjembatani masyarakat mengakses layanan perbankan. “Misi Go-Pay sejak awal memang membantu unbanked communities (masyarakat yang belum tersentuh layanan perbankan) untuk dapat mengakses layanan keuangan formal. Fokus kami di sektor UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah),” kata Aldi.
Kini, Go-Pay telah digunakan sekitar 300.000 rekan usaha Go-Jek, terutama yang tergabung dalam layanan Go-Food untuk pesan-antar makanan, sebagian besar UMKM. Lebih dari 50 persen transaksi Go-Jek telah menggunakan Go-Pay. Selama 2018, total transaksi uang elektronik tersebut mencapai Rp 88,7 triliun.
Baca juga: Menggerakkan Roda Ekonomi dari Genggaman Tangan
Jumlah ini juga mencakup pembayaran non-tunai dalam transaksi luar jaringan (luring) di berbagai gerai, mulai dari Roti’O hingga penjual martabak kaki lima. Transaksi diproses dengan memindai kode respons cepat (QR code) menggunakan ponsel pintar.
Data transaksi yang tercatat akan dibagikan kepada bank untuk keperluan kredit nasabah. Kerja sama ini telah berlangsung salah satunya dengan BNI. “Dengan data transaksi Go-Pay, perbankan bisa lebih mudah menilai kelayakan UMKM untuk mengakses kredit sehingga usahanya bisa berkembang,” kata Aldi.
Data transaksi Go-Pay juga digunakan untuk kebutuhan akses produk keuangan lainnya seperti kredit pemilikan rumah (KPR) di BTN, tabungan umrah di BNI Syariah, serta pembelian asuransi di Allianz dan Pasar Polis. Hingga akhir 2018, Go-Pay telah bermitra dengan 28 bank dan lembaga keuangan non-bank.
Dengan data transaksi Go-Pay, perbankan bisa lebih mudah menilai kelayakan UMKM untuk mengakses kredit sehingga usahanya bisa berkembang.
Pendiri sekaligus CEO Go-Jek Nadiem Makarim mengatakan, uang elektronik seperti Go-Pay dapat menjaga transparansi transaksi. Jumlah transaksi yang tepat pun dapat mempermudah proses penilaian kredit.
Di lain pihak, Direktur OVO Harianto Gunawan mengatakan, OVO telah digunakan di 115 juta perangkat gerak (mobile). Total 500.000 pengusaha juga telah menggunakannya. Dari jumlah itu, sebanyak 230.000 pengusaha yang bergerak di sektor UMKM.
“Selama November 2017 hingga November 2018, jumlah transaksi OVO mencapai Rp 1 miliar. Tiga transaksi terbanyak adalah transportasi, ritel non-makanan dan minuman, dan e-dagang,” kata Harianto.
Baca juga: OVO Siap Perluas Penggunaan di Luar Jasa Sistem Pembayaran
OVO terintegrasi di aplikasi ojek daring Grab dan laman e-dagang Tokopedia. Kini, OVO telah menjalin kerja sama dengan Bank Mandiri dan BCA dalam bentuk pengisian saldo (top up) tanpa biaya. Belum ada skema berbagi data dengan bank lainnya, tetapi Harianto percaya, riwayat transaksi usaha akan semakin kredibel jika dilakukan secara non-tunai.
Masih rendah
Riset Rekanan McKinsey & Company di Indonesia Guillaume de Gantes menyebutkan, bank masih menjadi andalan konsumen layanan keuangan Indonesia untuk layanan pembayaran dan perkreditan. Jumlah transaksi daring perbankan meningkat dari 21 persen pada 2014 menjadi 35 persen pada 2017.
Sebaliknya, tingkat transaksi keuangan seperti pembayaran dengan uang elektronik maupun peminjaman uang antarpihak (peer-to-peer lending/P2P) melalui ponsel hanya 5 persen, jauh dari China yang sudah mencapai 67 persen.
“Namun, kita memasuki realitas baru. Jumlah pengguna gawai di Indonesia pada 2025 akan jadi 13 juta lebih banyak daripada pemilik rekening bank," kata dia.
Guillaume memperkirakan, masyarakat yang lebih mampu masih akan menggunakan layanan bank. Adapun yang tidak mempunyai rekening bank akan lebih banyak menggunakan layanan keuangan digital seperti uang elektronik dan P2P.
Di saat yang sama, Guillaume menilai, penetrasi kredit di Indonesia tergolong rendah. Per Oktober 2018, total kredit tercatat Rp 4.970,10 triliun, tumbuh 13,63 persen dari Rp 4.374,04 triliun pada Oktober 2017 (Kompas, 3 Januari 2019).
Tekfin seperti Go-Pay dan OVO bisa menjangkau masyarakat yang belum memiliki rekening bank. Karena itu, ia mendorong perusahaan tekfin dan bank untuk saling berkolaborasi.
Jika kita bisa menggantikan uang tunai dengan metode pembayaran kode QR, keabsahan pembayaran mudah divalidasi dan dijamin. Penipuan (fraud) dan manipulasi arus kas (cashflow) bisa dihilangkan.
“Jika kita bisa menggantikan uang tunai dengan metode pembayaran kode QR, keabsahan pembayaran mudah divalidasi dan dijamin. Dengan begitu, dua hambatan terbesar dalam pertumbuhan kredit, yaitu penipuan (fraud) dan manipulasi arus kas (cashflow) bisa dihilangkan. Lebih banyak orang bisa mendapat kredit,” kata Guillaume.
Meski demikian, perjalanan Indonesia untuk menghilangkan uang tunai sama sekali masih panjang. Rekanan McKinsey & Company Bruce Delteil mengatakan, uang tunai masih sangat umum digunakan di Indonesia, terutama untuk usaha kecil. Selain itu, tidak ada regulasi pemerintah untuk mendorong migrasi dari uang tunai ke non-tunai. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)