Menggerakkan Roda Ekonomi dari Genggaman Tangan
Saat pertama kali beroperasi di Indonesia pada 2015, Go-Jek lebih banyak diingat sebagai layanan ojek yang dapat dipesan lewat aplikasi ponsel pintar. Namun tak ada yang menyangka, Go-Jek bersama Grab selaku kompetitornya, telah menjadi bagian integral kehidupan sehari-hari.
Munculnya kosakata baru seperti nge-Go-Jek, nge-Grab, atau nge-Go-Food menunjukkan aplikasi ojek daring kini tak lagi sekadar ojek. Mereka telah menjadi gerbang tunggal segala layanan.
“Kita ingin memutarbalikkan anggapan Go-Jek itu mendisrupsi atau membuat yang lain tutup. Tapi, jasa antar, pengiriman barang, dan layanan restoran itu belum bisa digantikan dengan mesin dan akan tetap ada. Jadi, Go-Jek malah memperluas lapangan kerja, terutama bagi driver dan pedagang-pedagang kecil,” kata pendiri sekaligus CEO PT Go-Jek Indonesia Nadiem Makarim, Jumat (15/2/2019), di Jakarta.
Jasa antar, pengiriman barang, dan layanan restoran itu belum bisa digantikan dengan mesin dan akan tetap ada. Jadi, Go-Jek malah memperluas lapangan kerja.
Motto Go-Jek, an ojek for every need (ojek untuk segala kebutuhan) benar-benar terealisasi. Saat ini, Go-Jek menyediakan 19 jenis layanan, mulai dari transportasi dengan ojek dan taksi, pengiriman makanan, logistik, obat, hingga pemesanan tiket.
Ada juga layanan Go-Life yang terdiri dari pijat, membersihkan rumah, antar-jemput binatu, reparasi mobil, dan lain-lain. Semua transaksi dapat dibayar dengan uang elektronik Go-Pay sebagai jenis layanan ke-20.
Baca juga: Go-Jek Laporkan Capaian Layanan Tahun 2018 kepada Pengguna
Per Desember 2018, aplikasi Go-Jek telah diunduh 125 juta kali. Dengan jangkauan mencapai 178 kabupaten dan kota di Indonesia, layanan Go-Jek digawangi 1,3 juta pengemudi sepeda motor dan mobil serta lebih dari 30.000 mitra Go-Life.
Pengusaha-pengusaha makanan dan minuman juga telah menjadi mitra Go-Food. Sebanyak 80 persen di antaranya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Hasil riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia 2017, total penghasilan pengemudi mitra Go-Jek mencapai Rp 8,2 triliun. Adapun penghasilan mitra UMKM Go-Jek sebesar Rp 1,7 triliun.
Semua itu dihasilkan dari 100 juta transaksi semua layanan yang diprosesnya setiap bulan. Hal itu itu termasuk mengantar 2 juta orang perhari.
“Dari segi volume, jasa transportasi masih mendominasi, disusul pembayaran, kemudian makanan. Tapi, dari segi value (nilai), makanan menempati posisi pertama, baru disusul transportasi. Go-Pay yang menggunakan QR code (kode respons cepat) juga membantu kami menjangkau transaksi offline,” ujar Nadiem.
Sejak 2017 hingga Desember 2018, para pengemudi mitra telah mengantarkan lebih dari 4,5 juta gelas kopi, 120 juta porsi ayam goreng, dan 7,5 juta martabak. Jarak antar pun mencapai 610 juta kilometer, setara dengan lebih dari 15.000 kali keliling Bumi.
Luar negeri
Go-Jek telah tumbuh 1.607 kali dibandingkan nilai awalnya pada 2015. Cakupan layanannya pun semakin menggurita hingga ke empat negara lain di Asia Tenggara, yaitu Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam. Hingga kini, Go-Jek melayani 204 kota di sejumlah kawasan negara-negara itu dengan total 2 miliar transaksi senilai 9 miliar dollar AS.
Di Vietnam, misalnya, Go-Viet menguasai 40 persen pangsa pasar ojek daring hanya dalam tempo tiga bulan setelah diluncurkan pada Agustus 2018. “Kami pakai warna merah yang sesuai dengan karakter Vietnam, sehingga perusahaan ini terasa lokal,” lanjut Nadiem.
Baca juga: Vietnam dan Thailand Dituju
Sukses yang sama pun juga diraih Grab. Hampir sama dengan kompetitornya, Grab juga menjadi gerbang menuju seluruh jenis layanan kehidupan sehari-hari. Beberapa jenis layanan Grab mencakup GrabBike, GrabCar, GrabFood, GrabExpress, hingga koneksi dengan platform menonton daring Hooq.
Dalam wawancara beberapa waktu lalu, salah satu pendiri Grab mengatakan, Grab telah menjangkau sekitar 8 juta mitra pengemudi dan pengusaha mikro di delapan negara Asia Tenggara hingga awal 2019.
“Kami menargetkan 100 juta pengusaha mikro sampai lima tahun mendatang,” kata Tan (Kompas, 4 Februari 2019).
Grab telah diunduh di lebih dari 125 ponsel pintar. Sejak didirikan pada 2012, aplikasi Grab telah melayani 2,5 miliar perjalanan di 235 kota di kedelapan negara.
Baca juga: Mendorong Kesetaraan bagi Perempuan
Grab pun menyediakan layanan uang elektronik. Meski di Indonesia telah bekerja dengan OVO, Grab telah mengantongi enam lisensi uang elektronik, salah satunya Grab Pay.
“Kami kembangkan Grab Pay sebagai sarana menghubungkan pengusaha mikro ke layanan perbankan,” kata Tan.
Kami kembangkan Grab Pay sebagai sarana menghubungkan pengusaha mikro ke layanan Perbankan.
Layanan makanan pun juga laris diakses melalui GrabFood yang hadir di 116 kabupaten dan kota di Indonesia. Managing Director Grab Indonesia Mediko Azwar mengatakan, hingga 21 November 2018, Grab telah mengantarkan jutaan pesanan. Ayam geprek menjadi favorit dengan 13 juta pesanan, sementara bubble tea sebanyak 1,5 juta pesanan (Kompas, 13 Januari 2019).
Pertumbuhan Grab dan Go-Jek pun membangkitkan kepercayaan para investor yang kemudian menyediakan pendanaan. Total putaran pendanaan bagi Grab telah mencapai 19 kali, sementara Go-Jek baru saja merampungkan putaran pertama pendanaan seri F awal Februari 2019 lalu.
Duopoli
Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Bhima Yudhistira, Sabtu (16/2/2019), mengatakan, bisnis transportasi daring sudah menjadi industri duopoli. Pada 2016, ada kurang lebih 10 penyedia layanan ojek daring di Jakarta dan sekitarnya, antara lain Topjek, Blu-Jek, dan Ladyjek. Namun, Go-Jek dan Grab lebih jeli memanfaatkan peluang, terutama dengan investasi yang besar.
Go-Jek dan Grab bisa melihat adanya margin keuntungan serta besarnya minat investasi untuk startup (perusahaan rintisan). Selama ini, model bisnis Go-Jek, misalnya, adalah bakar uang.
Baca juga: Aturan Hukum Keluar pada Februari
"Mereka memberi layanan transportasi daring dengan harga merugi dengan memberikan promo dan diskon untuk pelanggan. Tapi, bakar uang itu justru membuka peluang di bisnis baru yang lebih menguntungkan seperti Go-Food dan Go-Pay,” ujar Bhima.
Model bisnis Go-Jek adalah bakar uang. Tapi, bakar uang itu justru membuka peluang di bisnis baru yang lebih menguntungkan seperti Go-Food dan Go-Pay.
Selama 2018, omzet dari Go-Pay mencapai 6,3 miliar dollar AS atau Rp 88,7 triliun. Lebih dari setengah transaksi Go-Jek telah menggunakan Go-Pay. Perkembangan ini positif untuk Go-Jek dan Grab.
Namun, Bhima mengatakan, keadaan ini menjadi penghalang bagi munculnya berbagai usaha rintisan lainnya ke industri transportasi daring.
“Untuk merebut market share, pemain baru harus padat modal dan berani bakra duit. Tapi, terbuka peluang bisnis transportasi yang bukan sepeda motor dan mobil, misalnya sepeda listrik. Permintaan transportasi publik masih tinggi. Hanya saja, moda transportasinya harus berbeda,” kata Bhima.
Masa depan
Saat ini, pemerintah tengah menggodok kebijakan mengenai batas bawah dan atas tarif ojek daring. Tarif Rp 1.300 per kilometer yang kini berlaku dinilai para mitra pengemudi terlalu rendah, bahkan tidak manusiawi.
Menurut Bhima, peningkatan keuntungan dari bisnis transportasi akan semakin tipis. “Tapi, secara umum bisnis Go-Jek dan Grab tidak akan terganggu karena masyarakat tidak punya opsi lain. Go-Jek dan Grab pun mungkin akan mulai beralih ke bisnis tekfin (teknologi finansial) melalui aplikasi. Mereka terus mencari bentuk baru,” kata Bhima.
Ia memprediksi, Go-Jek dan Grab akan mulai memperluas jangkauannya menuju pendanaan pinjam-meminjam antarpihak secara daring (peer-to-peer lending) serta penjualan instrumen keuangan lainnya, seperti reksa dana atau surat utang. Ini sudah dicontohkan usaha rintisan e-dagang, Tokopedia dan Bukalapak.
Tak ada yang menyangka Go-Jek dan Grab dapat menjadi lebih dari sekadar ojek. Ojek pun kembali menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Selagi pendanaan usaha rintisan terus berputar, inovasi pun akan terus ditebar. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)