Pola pengasuhan dinilai belum mengedepankan keteladanan dan kerja sama para guru. Itu bisa memicu kekerasan pada anak ataupun yang dilakukan oleh anak.
JAKARTA, KOMPAS—Maraknya kasus kekerasan pada anak ataupun yang dilakukan oleh anak menunjukkan pola pengasuhan masih belum mengedepankan keteladanan, tetapi justru sarat dengan kekerasan fisik, psikis, dan verbal. Untuk itu, pola pengasuhan dan pendidikan anak perlu dievaluasi.
”Anak tidak mendadak jadi nakal. Ada proses panjang, dimulai dari seringnya anak menyerap perilaku negatif dari sekitarnya,” kata Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto di Jakarta, Jumat (15/2/2019). Anak yang menjadi korban kekerasan ataupun pelaku kekerasan di mata hukum merupakan korban pola pengasuhan buruk.
Menurut Susanto, pengasuhan buruk berbentuk penggunaan kekerasan sebagai cara mendisiplinkan anak. Contohnya, dengan memberi hukuman fisik, tekanan sosial dan psikologis, serta ucapan menyakitkan. Metode tersebut tampak efektif sekejap, misalnya membentak anak agar tidak ribut. Namun, itu tak membangun karakter anak agar memperhatikan sopan santun.
Komisioner KPAI, Retno Listyarti, mencontohkan dua kasus kekerasan oleh anak yang viral di media sosial. Pada kasus di Takalar, Sulawesi Selatan, orangtua justru mengajak anak turut menganiaya petugas kebersihan sekolah yang sebelumnya memukul anak tersebut. ”Orangtua, tenaga kependidikan, dan guru tidak punya konsep pengasuhan dan mengambil jalan kekerasan,” ujarnya.
Orangtua, tenaga kependidikan, dan guru tidak punya konsep pengasuhan dan mengambil jalan kekerasan.
Disiplin positif
Pakar pendidikan Arief Rachman, saat ditemui pada Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan 2019, menyatakan, pada proses tumbuh kembang anak, ada masa pemberontakan. Itu berarti ada hal-hal yang tidak disetujui anak, tetapi dipaksakan kepada mereka sehingga mereka memilih melawan.
”Di sini kedewasaan orangtua dan guru diuji. Caranya bukan memaksa apalagi membentak dan memukul, melainkan meminta anak menjelaskan aspek yang tidak mereka setujui dari suatu aturan. Tanyakan apakah kamu punya usul semestinya aturannya seperti apa? Anak yang tahu dirinya dihargai tidak akan menyakiti orang lain,” ujarnya.
Kerja sama tim
Kasus kekerasan yang terungkap di media sosial memang kasuistik, tetapi para guru mengakui kerap menemukan siswa yang dicap bermasalah oleh masyarakat.
Guru Matematika SMA Negeri 1 Fakfak, Papua, Chandra Ubayanti, misalnya, menceritakan pengalamannya membina seorang siswa yang nyaris dikeluarkan dari sekolah karena melempar batu ke kaca jendela ruang kelas ketika jam belajar berlangsung.
Setelah diusut, siswa itu marah karena tak diizinkan masuk ke sekolah akibat datang terlambat, sedangkan ada seorang guru yang juga terlambat malah diizinkan masuk. Padahal, aturan sekolah mengatakan semua warga sekolah yang datang terlambat tidak boleh masuk hingga jam pelajaran berikutnya dimulai.
Kemudian siswa tersebut melampiaskan kemarahan dengan melempar batu ke gedung sekolah yang ternyata mengenai kaca jendela. ”Peristiwa ini refleksi bagi para guru bahwa kami ternyata belum sepenuhnya jadi teladan bagi siswa,” kata Chandra.
Alih-alih mengeluarkan siswa, para guru memastikan segala tindakan mereka sesuai dengan aturan. Adapun siswa bersangkutan lalu diajak berdialog dan dibimbing terkait cara mengelola emosi dengan benar. Kekesalan dan kemarahan bisa diungkapkan tanpa harus merugikan orang lain.
Kepala Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 7 Jember, Jawa Timur, yang baru dilantik, Dwi Anggraeni, mengungkapkan pengalaman selama menjadi guru matematika di SMKN 3 Probolinggo. Ia menghadapi siswa yang terlibat narkoba akibat tidak diperhatikan di rumah. ”Proses pembinaannya memang lama, tetapi guru bekerja dalam tim. Di dalamnya ada wali kelas, guru bimbingan konseling, sampai mengajak kepolisian,” katanya.
Menurut Dwi, proses pemulihan siswa tidak langsung terjadi di masa sekolah. Namun, setelah lulus, ia sudah bebas dari zat-zat adiktif. Hal terpenting adalah guru jeli melihat perubahan siswa menjadi lebih baik meskipun sedikit demi sedikit, misalnya memakai seragam dengan rapi setelah selama ini selalu berantakan. Perubahan kecil itu patut dipuji agar siswa tahu bahwa ia diperhatikan dan tidak hidup dalam kesendirian.