Panen padi musim tanam rendeng 2018/2019 telah tiba. Petani di sejumlah sentra, seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat mulai memanen hasil jerih payahnya pertengahan Februari 2019 ini. Panen diperkirakan bakal meluas pada Maret 2019.
Apa yang dikhawatirkan petani? Anjloknya harga gabah. Sejumlah situasi mendorong kekhawatiran itu. Kini, ketika panen baru mulai, harga gabah di beberapa lokasi di Jawa Timur dan Jawa Tengah berkisar Rp 4.500-4.700 per kilogram (kg) kering panen (GKP). Angka itu turun jika dibandingkan harga GKP Januari 2019 yang Rp 5.191 per kg mengacu hasil survei Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) di 46 kabupaten di 12 provinsi.
Harga gabah memang masih di atas harga pembelian pemerintah (HPP) yang Rp 3.700 per kg GKP di tingkat petani. Namun, sesuai pola harga yang berfluktuasi mengikuti pola panen, harga gabah pada Maret-April diperkirakan turun. Tahun lalu, harga gabah berangsur turun dari Rp 5.667 per kg pada Januari, jadi Rp 4.853 per kg pada Februari, dan turun lagi jadi Rp 4.319 per kg pada April.
Situasi pasar awal tahun 2018 sebenarnya "lapar berat". Gudang-gudang milik pengusaha penggilingan padi kosong. Demikian pula gudang milik Perum Bulog. Stok beras pemerintah di gudang Bulog per 2 Februari 2018 pun tinggal 690.157 ton. Jauh di bawah kapasitasnya yang bisa mencapai 3,9 juta ton.
Situasi itu menguntungkan petani. Sebab, panen akan segera diserap pasar. Ketika itu, tengkulak, pemilik penggilingan, dan pedagang beras bahkan berburu ke lokasi-lokasi panen untuk berebut gabah. Dampaknya, meski sempat turun, harga segera naik lagi dan terjaga di level yang relatif tinggi.
Situasi awal tahun ini jauh beda. Gudang Bulog masih relatif penuh saat panen mulai. Stok beras di awal tahun 2019 mencapai 2,1 juta ton. Relatif besar jika dibandingkan situasi akhir 2017-awal 2018. Oleh karena itu, Bulog dikhawatirkan tak mampu menyerap dalam jumlah besar. Fungsi stabilisasi harga bisa terganggu.
Kemana petani mesti menagih fungsi stabilisasi ketika harga gabah anjlok, sementara Bulog masih "kekenyangan"?
Belakangan terlontar wacana mengekspor stok itu. Harapannya, kapasitas gudang bertambah sehingga Bulog lebih leluasa menyerap gabah petani. Namun, apa mungkin mengekspor beras dengan harga dua kali lipat lebih mahal dari pasar internasional? Siapa yang mau? Harga beras jenis thai dengan kadar broken 5 persen pada Januari 2019, misalnya, menurut laman Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) "hanya" 410 dollar AS per ton. Dengan kurs Rp 14.000 per dollar AS, beras yang di Indonesia tergolong premium itu hanya Rp 5.740 per kg, sementara di Indonesia Rp 12.800 per kg.
Bagaimana mesti menangani stok beras sebanyak itu ketika Bulog tak lagi berkewajiban menyalurkan beras sejahtera (rastra)? Dengan perubahan mekanisme bantuan pangan, realisasi penyaluran beras oleh Bulog anjlok dari 2,78 juta ton tahun 2016, jadi 2,54 juta ton tahun 2017, dan tahun lalu hanya 1,2 juta ton. Tahun ini bakal lebih kecil lagi.
Pertanyaan selanjutnya, kemana petani mesti menagih fungsi stabilisasi ketika harga gabah anjlok, sementara Bulog masih "kekenyangan"? Kalau pun dibeli Bulog, mau disalurkan kemana beras itu karena salurannya sudah jauh lebih kecil? Simalakama.
Hal lain yang perlu jadi perhatian adalah angka HPP yang belum pernah direvisi 4 tahun terakhir. Padahal, ongkos produksi terus naik. Kiranya pemerintah perlu memitigasi anjloknya harga gabah. Sebab, jika benar harga anjlok, hal itu bencana bagi petani.