JAKARTA, KOMPAS — Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Indonesia Maryati Abdullah mengatakan, pemerintahan terpilih untuk periode 2019-2024 harus mampu mengubah pola pikir dari sumber daya alam sebagai komoditas ke arah modal penggerak pembangunan.
Caranya adalah dengan menggenjot peningkatan nilai tambah atau hilirisasi di dalam negeri. Ekspor batubara dan mineral mentah sebaiknya segera dikendalikan dan ditingkatkan nilai tambahnya.
”Pengembangan infrastruktur energi, pengendalian subsidi energi, serta transisi energi dari fosil menuju energi bersih terbarukan harus disiapkan oleh pemerintahan mendatang. Harus ada perbaikan tata kelola sejalan dengan mandat konstitusi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat,” kata Maryati, Jumat (15/2/2019), di Jakarta.
Pemerintah sudah memulai rencana peningkatan nilai tambah mineral dan batubara di dalam negeri. PT Bukit Asam Tbk, misalnya, menggandeng para pihak mengembangkan gasifikasi batubara. Hasil dari proyek tersebut adalah dimetil eter yang merupakan bahan baku elpiji. Total konsumsi elpiji di dalam negeri yang hampir 7 juta ton per tahun, sekitar 70 persen diimpor.
Sebelumnya, di Komisi VII DPR, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan memaparkan, sampai 2018, sudah ada 27 smelter di Indonesia yang beroperasi. Dari jumlah tersebut, paling banyak adalah smelter nikel yang terdiri dari 17 unit. Sisanya adalah smelter besi 4 unit, smelter tembaga 2 unit, dan smelter bauksit 2 unit.
”Juga ada rencana pembangunan smelter sebanyak tiga unit dan smelter nikel sebanyak 16 unit sampai 2022 nanti,” kata Jonan.