Jejak Masa Lalu Bergen
Bergen! Kota pusat perikanan di Norwegia itu punya daya tarik yang tak dapat ditolak. Kesempatan berkunjung ke kota berpenghuni sekitar 700.000 jiwa di pucuk utara planet itu pun layak disambut antusias.
Dari Oslo, setelah naik kereta dengan rute melalui Flåm, perjalanan dilanjutkan dengan kapal motor melalui Aurlandsfjord, disambung dengan bus dan kereta api, barulah kami sampai di Bergen.
Berikutnya, kami pun berjalan menyeret koper menuju penginapan. Kota kunci dalam sejarah perikanan Norwegia ini tampak lengang. Daya tarik dan pusat sejarah memang terletak di sepanjang pantai.
Bergen punya cara sendiri untuk membuat kota semarak. Siang itu di tengah terpaan angin dingin yang meniup kencang, di plaza yang memisahkan muara sungai dengan deretan rumah petak, sekelompok pemusik drum band memeriahkan suasana.
Festival pangan lokal, menyajikan aneka buah hingga masakan berbagai hasil laut cukup untuk menangsel perut. Beruntung masakan yang disajikan tidaklah setawar masakan yang kami temui di Oslo.
Menapaki trotoar berbatu, di depan deretan rumah petak warna-warni, tidak terbayang bahwa kota mungil yang cantik dan ceria ini memendam kisah kelam. Dua tragedi besar pernah melanda kota yang pada masa lalu pernah menjadi ibu kota Norwegia ini.
Tragedi pertama adalah epidemi pes atau sampar, yang mengilhami Albert Camus menuliskan novel La Peste atau Sampar dalam edisi terjemahan bahasa Indonesia. Rupanya Bergen tak luput dari serangan penyakit pes yang melanda nyaris seluruh daratan Eropa pada abad ke-13 itu. Di Bergen, bencana maut sampar diperkirakan tiba pada awal September 1349, dibawa oleh kapal yang mengangkut gandum dari Inggris. Saat itu, korban jiwa amat besar.
Tragedi kedua, yaitu kebakaran besar yang memusnahkan kota Bergen. Setidaknya ada tiga kebakaran melahap kota pantai tersebut. Pertama yang pernah tercatat, terjadi pada tahun 1170 atau 1171. Kebakaran besar kedua terjadi pada 1192, dan yang terakhir terjadi pada 1702. Setelah kejadian yang terakhir, hanya ada satu rumah yang boleh menyalakan api untuk memasak, yaitu yang berada di sebelah The Hanseatic Museum.
Reruntuhan sisa kebakaran besar yang pertama dibiarkan terpapar di lantai bawah Museum Bryggen bersama barang-barang warga Bergen di masa lalu. Museum itu seolah menghidupkan kembali kehidupan warga kota Bergen sebelum abad pertengahan.
Jejak kebakaran
Museum Bryggen tak boleh terlewatkan. Di Bryggen lah semua kultur nelayan dan perikanan terbentuk. Bryggen adalah jantung Bergen. Di sana pula terekam jejak-jejak manusia abad pertengahan. Sejarah mereka terkubur bersama arang yang mengering dan hancur.
Bangunan rumah petak berderet yang dihubungkan dengan semacam jembatan, menjadi ciri khas Bergen. Deretan rumah petak di Selatan disebut Sveinsgard dan deretan di utara adalah Miklagaard. Sistem bangunan tersebut mendapatkan penghargaan berupa pengakuan terhadap situs warisan dunia di kota Bergen.
Hasil ekskavasi dan temuan artefak tersebut disusun sebagai pameran dalam museum Bryggen, dinamai ”The Medieval Town of Bergen around 1300”. Dari sisa-sisa yang ditemukan tampak jejak-jejak peradaban manusia Bergen di masa lalu. Mereka sebagian adalah petani, sekaligus juga nelayan. Gandum didapatkan dari Inggris. Aktivitas ekspor impor gencar.
Museum tersebut didirikan tepat di reruntuhan kebakaran besar dan bersebelahan petak dengan Gereja St Mary, satu dari tiga gereja yang selamat. Kehidupan Bergen pada masa lalu dipaparkan dengan amat menarik.
Hanse
Bergen adalah sebuah kota pantai kecil yang semula hanya hidup dari apa yang mereka dapatkan dari laut mulai dari ikan kod. Kisah kota Bergen tak lepas dari sejarah kehadiran perusahaan perdagangan ikan dari Jerman, Hanseatic League, yang kemudian disebut Hanse.
Komoditas utama Hanse yaitu ikan kod dan minyak ikan. Skala perdagangan Hanse demikian besar, hingga menguasai sebagian wilayah Eropa dari wilayah Barat Laut hingga Eropa Tengah.
Hanseatic Museum menjadi rumah penjaga cerita pedagang besar ikan dari Hanseatic League. Kini menjadi obyek wisatawan yang mendapatkan status sebagai Situs Warisan Dunia dari UNESCO (Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB). Bangunan baru berdasarkan bentuk aslinya didirikan tahun 1974.
Demikian besarnya nilai perdagangan ikan dan minyak ikan Hanse. Perusahaan perdagangan ikan raksasa itu mempekerjakan karyawannya nyaris tanpa istirahat. Pada puncak kejayaannya, Hanse memiliki banyak kantor untuk jual-beli ikan di Bergen.
Di setiap kantor pada masa itu terdapat delapan pegawai magang, selain satu pimpinan (semacam direktur) dan satu pegawainya. Kami pun mengunjungi satu kantor yang dilindungi dan dipertahankan sebisa mungkin seperti aslinya.
Di kantor yang terbagi-bagi menjadi berbagai ruangan kecil ditunjukkan betapa para pegawai magang tersebut harus bekerja keras nyaris tanpa istirahat.
Di sebuah ruangan yang disebut sebagai kamar tidur, terdapat ”kotak” tertutup di atas kaki kayu setinggi sekitar 75 sentimeter. Seperti lemari pada umumnya, kotak tersebut memiliki dua daun pintu. Lemari makan? Bukan. Lemari baju pun bukan. Itu rupanya tempat tidur bagi para karyawan magang.
Cara tidurnya? Dua orang tersebut harus duduk berhadapan dengan punggung disandarkan pada ujung-ujung lemari yang berjauhan. Kedua kaki diselonjorkan ke arah teman tidurnya. Tidur dengan posisi duduk atau duduk dalam tidur.
”Saat mereka tidur pintunya ditutup agar mereka tetap hangat saat musim dingin,” ujar pemandu wisata. Kami tidak bisa membayangkan betapa pengap udara di dalam ”kotak tidur” itu. Ruangan demi ruangan yang kami lihat relatif sempit sekitar rata-rata berukuran sekitar 5 meter x 3 meter. Yang paling luas sekitar 8 meter x 3 meter adalah tempat menghitung stok ikan.
Semua kantor hanya dihuni para pekerja pria: dari direktur para karyawan magang. Semua hidup tanpa istri. Yang pasti, para karyawan magang malah dilarang menikah selama bekerja di kantor. Mereka semua adalah orang Jerman.
Mereka baru berangsur kembali ke Jerman sejak 1740. Demikian dominannya pengaruh Jerman di Bryggen, bahkan bahasa Jerman masih digunakan untuk berkomunikasi hingga akhir abad ke-19 di wilayah itu. Setelah menyusutnya era Hanse, warga Jerman banyak yang ”pulang kampung” atau menjadi warga Bergen, dan terus tinggal di sana.
Pada masa kini, muncul ancaman baru bagi para nelayan di Bergen. Sistem perdagangan global terus berkembang sejalan dengan perkembangan beragam perjanjian perdagangan bilateral ataupun global. Maka muncul kosakata baru: kuota.
Ada pengaturan yang membuat nelayan di Bergen kini mulai pesimistis. Kaum muda pun makin jarang. Ketika Norwegia juga menumpukkan ekonomi dari eksploitasi minyak lepas pantai di laut utara, para nelayan pun mulai waswas: setelah semua pengalaman dan sejarah tragis tersebut lantas apa yang masih mereka miliki?
Bergen. Mungil, cantik, cerah. Semoga tragedi tak lagi menyapa….