Organisasi kemasyarakatan atau ormas di Ibu Kota memiliki wajah sendiri. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 menyebutkan, ormas didirikan dan dibentuk masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indoesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45.
Di Ibu Kota ini juga banyak berdiri ormas-ormas dengan berbagai identitas. Identitas itu pula yang menerakan stereotip khas terhadap ormas tertentu. Mereka biasanya mengidentifikasi diri dengan seragam. Itu bisa mirip militer, bersepatu lars dan berbaret atau khas bebusana tertentu. Terkadang ada arogansi dan fanatisme sempit di situ.
Tidak jarang di antara ormas terjadi insiden gesekan. Biasanya, mereka ribut bukan karena ideologi tetapi lebih ke masalah perut. Misalnya, rebutan lahan parkir. Sejumlah ormas dikenal menguasai kawasan tertentu, yang ditandai dengan hadirnya pos-pos atau bendera mereka. Sering ditemui, di kawasan atau pergedungan yang sedang dibangun, berkibar bendera-bendera ormas tertentu.
Itu tanda, si kontraktor sudah mendapat “restu” dari ormas setempat. Uang jago atau uang keamanan masih lazim diberikan.
Keberadaan ormas-ormas ini pun saat politik lokal atau nasional menghangat pun semakin eksis. Para tokoh membutuhkan kehadiran mereka sebagai pendukung dan ladang suara yang luar biasa. Dukungan politik ormas ini bisa karena berbagai sebab dan kepentingan. Tentu saja tidak ada makan siang gratis.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan berencana mengucurkan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kepada sejumlah ormas lewat dana swakelola. Kucuran dana ke ormas diberikan, antara lain untuk membenahi kampung kumuh. Tidak tanggung-tanggung, sekitar 20 persen dari kas daerah akan diberikan kepada ormas untuk program tersebut. Konon di Ibu Jakarta tercatat sekitar 300 ormas aktif dari 1.000 organisasi kemasyarakatan yang ada.
Menurutnya, program pembangunan yang dulu hanya bisa dikerjakan pihak swasta lewat proses tender, dengan mekanisme ini bisa dikerjakan oleh ormas (Kompas, 14/2/2019).
Anies menyontokan, proyek pengerasan jalan kampung. Katanya, misalkan ada dua gang. Satu gang pengerasan jalan itu dikerjakan swasta. Satu gang lagi dikerjakan oleh organisasi kemasyarakatan. “Standarnya sama,” katanya.
Tentu saja bukan hal mudah untuk menerapkan standar yang sama dari mereka yang “memang ahlinya” dengan masyarakat biasa. Kemungkinannya, masyarakat mendapat pelatihan untuk mendapatkan standar yang ditentukan.
Ini butuh waktu karena menyangkut berbagai hal termasuk penyusunan proposal hingga laporan pertanggungjawaban proyek dan anggaran.
Atau, bisa juga dana dialirkan ke ormas-ormas tertentu akan tetapi pengerjaan proyek bisa saja dilaksanakan oleh pihak swasta yang berpengalaman. Toh, yang penting dananya sudah menetes ke ormas. Bagi-bagi rezeki.