Respons Limpahan Cahaya
Suci dan privasi boleh jadi mewakili dua kutub berbeda. Namun, keduanya bisa saling menguatkan dalam arsitektur bergaya tropis. Suci hampir selalu berkait dengan sesuatu yang spiritual dan privasi menjadi ruang pribadi, ”terpisah” dari gangguan lingkungan sekitar.
Suci dan privasi pada sisi lain membuktikan ketersambungan dua babak gaya arsitektur tropis, terutama Bali, yang dirumuskan berdasarkan respons manusia terhadap alam. Secara tradisional pola pembagian ruang arsitektur Bali bertumpu kepada ajaran Tri Hita Karana, yakni relasi harmoni antara manusia dengan Tuhan, interaksi antar-manusia, dan manusia dengan lingkungan alam.
Pola relasi ini melahirkan pembagian ruang yang disebut parahyangan (tempat suci), pawongan (aktivitas manusia), dan palemahan (interaksi manusia dengan lingkungan alam dan sosial).
Prinsip ini senantiasa menjadi inspirasi bagi 13 arsitek dan biro arsitek yang sedang menggelar festival, 9-17 Februari 2019, di Bentara Budaya Bali. Dalam festival bertajuk ”Bali Architecture Week, Popo Danes & Friends: Crafting the Archipelago” ini, antara lain digelar pameran dan diskusi seputar pencapaian arsitektur Bali dari masa ke masa.
Arsitek Popo Danes, inisiator festival, mengatakan perhelatan ini menjadi penting untuk melacak jejak dan merumuskan pencapaian arsitektur dalam merespons berbagai perkembangan ruang. ”Selama ini kita hanya tahu Bali Style, seperti apa itu, sejarahnya bagaimana, mengapa ada itu?” kata Popo.
Ia bergerak mengajak para arsitek yang pernah bekerja bersamanya untuk memamerkan hasil rancangan yang mereka kerjakan selama menjadi arsitek.
Sejak masa tradisional, kata Popo, arsitektur Bali secara teguh memegang prinsip ajaran Tri Hita Karana. Ajaran ini, tambahnya, melahirkan tatanan kosmologi Bali yang bersumbu pada Gunung Agung. Kosmologi inilah yang kemudian melahirkan istilah ulu dan teben atau kaja (utara) dan kelod (selatan), gunung dan laut. Gunung (ulu) dianggap sebagai wilayah suci, tempat bersemayamnya roh suci dan dewa. Sementara laut (teben) menjadi ruang peleburan segala dosa dan petaka.
Dosen Arsitektur Universitas Warmadewa Denpasar Gede Maha Putra menulis dalam katalog pameran, pola tradisional ini dahulu diterapkan dalam bangunan-bangunan pura, puri (keraton), dan rumah rakyat. Akan tetapi, pada masa kolonialisme, para arsitek Eropa datang membawa gaya arsitektur Barat tanpa mengindahkan ajaran lokal. Kemudian, katanya, seniman Walter Spies membangun rumah di atas tanah hibah dari Puri Ubud berbentuk wantilan sekitar tahun 1928.
”Bentuk inilah yang menjadi cikal-bakal butik hotel di Bali kemudian,” kata Maha Putra. Spies bahkan diceritakan banyak mengkritik kebijakan pemerintah kolonial yang mendirikan bangunan tidak membumi.
Ekologi
Popo dan para arsitek, yang dididiknya dalam Popo Danes Architect, menganut prinsip-prinsip berkesadaran ekologis. Semua bangunan yang didesain atas kepentingan arsitektur harus menyatu dengan lingkungan tempat bangunan itu didirikan.
Bahkan, Popo lebih tegas lagi, ”Saya selalu menolak membangun di atas tanah yang produktif,” kata arsitek yang telah membangun berbagai resor dan hotel di kawasan Asia Pasifik.
Sebagai bukti kepeduliannya kepada lingkungan alam, Popo merancang Natura Resort & Spa Ubud dengan menganut prinsip-prinsip penghematan energi. Rancangan ini kemudian memperoleh ASEAN Energy Award sebagai Best Prize in Tropical Architecture. Bahkan, penghargaan yang sama ia peroleh juga untuk karyanya Ubud Hanging Gardens. ”Saya selalu memperhatikan keharmonisan arsitektur, termasuk interiornya dengan alam sekitar,” kata Popo.
Prinsip itu juga diterapkan Jeanne Elisabeth yang membangun The Aqueduct Jakarta. Jeanne merancang kawasan yang mempertimbangkan secara saksama penggunaan air terbuang. Risetnya menemukan begitu banyak air terbuang di Jakarta saat banjir, tetapi sehari-hari warga menggunakan air tercemar. The Aqueduct menjadi kawasan yang memiliki fasilitas penyaringan air kotor, green wall, dan eco park. Rancangan ini kemudian memperoleh penghargaan Merit Award in Professional Category dalam Future Arc Prize 2015.
Transformasi nilai hampir selalu menjadi pertimbangan dalam seluruh rancangan para arsitek dalam pameran ini. Semua rancangan karya yang dipamerkan selalu merespons iklim tropis yang kaya cahaya dan hujan.
Oleh sebab itulah rancangan fasad seperti atap dan jendela menjadi hal yang mendapat perhatian utama. Bentuk atap selalu dibuat mengerucut agar sesedikit mungkin terkena radiasi matahari serta mengalirkan deras air hujan secara lebih cepat. Sementara jendela dan pintu dibuka lebar-lebar untuk memberikan keleluasaan angin menerobos keluar-masuk.
Para undagi (arsitek tradisional) Bali menggunakan atap dari ilalang, ijuk, atau daun kelapa sebagai upaya meredam radiasi matahari. Kini bahkan atap tradisional itu digunakan untuk atap bangunan-bangunan seperti restoran dan kafe di dalam kawasan perhotelan. Perpaduan antara konsep tradisional dan modern dalam pola arsitektur, terlihat lebih jelas dalam pola pembagian ruang. Jika masyarakat tradisional selalu menentukan kawasan suci (parahyangan) dalam bangunan tersendiri, kini masyarakat modern menjadikan bangunan-bangunan itu sebagai cottage.
Cottage memang tidak sama dengan kawasan suci dalam gugusan bangunan Bali. Namun, keduanya secara fungsional membutuhkan ketenangan dan kenyamanan. Masyarakat Bali membutuhkan privasi untuk ”bertemu” dengan Tuhan di kawasan suci, sementara masyarakat modern membutuhkan privasi demi ketenangan dan inspirasi. Bukankah di situ kita menemukan jejak nilai arsitektur tradisi dan pembaruan fungsi untuk mewadahi kebutuhan masyarakat kini?