Schönberg Berbalut Elektronika
Sejumlah musisi yang tergabung dalam MAM.manufaktur fur aktuelle musik menyuguhkan ”Pierrot Lumiere”, sebuah karya yang diangkat dari melodrama Arnold Schönberg, Pierrot Lunaire. Karya ini mewujud dalam tafsir yang lebih kini, radikal dan berani, dengan balutan seni visual dan musik elektronika yang kental.
Pierrot Lunaire adalah sebuah melodrama karya komposer Arnold Schönberg. Komposisi ini terdiri atas 21 puisi terseleksi karya Albert Giraud dari tahun 1884 yang diterjemahkan dalam bahasa Jerman oleh Otto Erich Hartleben.
Karya itu ditulis untuk narator yang menyampaikan puisi-puisi tersebut dengan teknik gabungan antara menyanyi dan berbicara, diiringi permainan piano. Oleh Schönberg, karya ini kemudian disajikan dengan instrumen yang lebih lengkap, seperti suling, klarinet, biola, selo, dan piano, sehingga disebut melodrama.
Karya ini menjadi karya yang populer hingga akhir abad ke-19. Kini pun masih terus menjadi salah satu karya klasik yang sangat populer. Banyak musisi telah memainkan Pierrot Lunaire dalam berbagai versi.
Selasa (12/2/2019) malam, tafsir Pierrot Lunaire disuguhkan oleh MAM.manufaktur fur aktuelle musik di Goethe–Institut di Jakarta dengan judul Pierrot Lumiere. Judul ini mengacu pada instalasi cahaya yang menyertai pertunjukan malam itu, selain suguhan interpretasi musikal dari Pierrot Lunaire yang diperkaya dengan musik elektronika dan tampilan video yang menarik.
Menghadirkan sebuah sajian musik yang mengejutkan dan terbilang berani. Sebuah karya klasik, bisa tampil sedemikian leluasa di tangan para musisi yang terdiri dari Gregor Schulenburg (suling), Richard Haynes (klarinet), Alexander Hadjiev (bassoon), Paul Hubner (trompet), Johannes Haase (biola), Bernhard Rath (selo), Daniel Lorenzo (piano), Julia Spies (soprano) dan Sussanne Blumenthal (konduktor).
Sebagaimana versi pertama Pierrot Lunaire yang ditampilkan di Berlin pada 1912, para musisi bermain di balik layar semitransparan. Layar tersebut tidak menjadi properti panggung yang mati, tetapi diperlakukan sebagai bagian suguhan musik secara keseluruhan.
Selama pertunjukan, larik-larik puisi yang ’dilantunkan’ Julia dengan cara seperti menyanyi, tetapi juga berbicara itu, ditampilkan di layar dengan ilustrasi sebuah tangan yang menuliskan larik-larik puisi tersebut. Panggung nyaris tak pernah terang untuk menampilkan sosok dan wajah-wajah para musisi. Meskipun begitu, musik mereka tetap tersimak kuat tanpa terganggu konsentrasi dengan pemandangan yang ada di layar.
Sebagai improvisasi, kadang penyanyi dan para musisi berpindah dari balik layar, berdiri di depan layar berhadapan secara frontal dengan penonton, atau bahkan berdiri di depan layar dalam posisi membelakangi penonton.
Dalam versi awal, musisi berada jauh di belakang panggung, sementara penyanyi dengan kostumnya yang indah, berada di depan. Aksi mereka semakin kuat bernuansa teatrikal dengan permainan berbagai pola cahaya yang ditembakkan ke layar.
Meski terdapat banyak komponen di atas panggung, musik tetap menjadi komponen utama yang membetot perhatian. Terlebih malam itu, Pierrot Lumiere tidak disajikan dengan cita rasa klasiknya yang asli, tetapi justru kental dengan balutan musik elektronika.
Bukan musik elektronika yang berdentum-dentum dengan irama rancak, melainkan musik yang keluar dari perangkat elektronika, mengilustrasikan berbagai ragam suara, mulai dari suara keriuhan kota, suara air yang berkecipak, suara burung di alam bebas, hingga suara dari lagu Indonesia zaman baheula yang muncul di bagian tertentu komposisi. Rumit, tak mudah untuk dicerna.
Kadang ada nuansa yang tergesa, nuansa keriuhan, dan keterimpitan. Kadang juga ada nuansa melankolik, emosional dan pada satu ketika terasa jenaka atau menenangkan yang jalin-jemalin dengan sangat intens. Toh, penonton tetap setia duduk di kursi masing-masing hingga pertunjukan musik selama satu jam penuh itu usai.
Transisi rasa
Menurut Gregor Schulenburg, Perriot Lumiere berupaya menghadirkan sebuah transisi rasa atau transisi mood dari sebuah karya yang telah berusia ratusan tahun ke masa kini.
Oleh karena itu, dibutuhkan sentuhan yang sifatnya kekinian, mulai dari video hingga musik elektronika yang dikolaborasikan dengan musik ”asli”. Suara-suara tersebut ada yang berupa rekaman atau juga yang dimainkan secara langsung dari perangkat elektronik.
Dengan seluruh komponen yang dihadirkan, penonton dibawa menuju pada perasaan berada di sebuah pemberhentian lalu terkoneksi dengan masa lampau, lengkap dengan paparan teksnya yang sangat ambigu. Tidak jelas apakah karakter yang ada di dalam teks adalah seorang pengidap skizofrenia, laki-laki atau perempuan, atau bahkan mungkin di antaranya.
”Pada dasarnya, kami menjembatani masa lalu dengan masa kini. Mungkin ini menjadi sebuah hal yang sangat baru dengan terasa sangat konfrontatif. Namun, menurut kami, pada saat diciptakan, karya tersebut juga sangat konfrontatif, dengan teks yang sangat brutal dalam beberapa hal, begitu juga dengan musiknya yang menurut kami sangat baru di masa itu,” papar Gregor.
Mereka tak hendak mendobrak keagungan dan kesucian musik klasik. ”Yang kami lakukan adalah menciptakan emosi yang sama seperti pada saat karya itu diciptakan,” kata Gregor.
Menurut Alexander, apa yang mereka sajikan merupakan sebuah upaya inovatif dalam menafsir sebuah karya. Bukan upaya yang mudah karena di Jerman dan di negara-negara di kawasan Eropa Barat yang memiliki tradisi musik klasik, karya semacam ini dianggap agung.
”Mungkin kami dianggap menghancurkan karya ini dengan memasukkan musik elektronika. Akan tetapi, ini adalah interpretasi baru dari karya tersebut agar terdengar kekinian. Seperti inilah karya itu apabila diciptakan pada masa kini,” kata Alexander.
Dia berharap, setiap orang yang berkesempatan menikmati musik mereka tetap dapat merasakan koneksi dan dapat mengambil manfaat untuk diri mereka.
Setelah di Jakarta, Pierrot Lumiere juga ditampikan dalam tur ke sejumlah negera seperti Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Myanmar.