YOGYAKARTA, KOMPAS—Aksesibilitas penyandang disabilitas agar bisa menggunakan hak pilihnya, dalam Pemilu 2019, harus ditingkatkan. Komisi Pemilihan Umum perlu bekerja sama dengan komunitas atau organisasi penyandang disabilitas supaya bisa menjaring keinginan mereka sehingga partisipasi kelompok tersebut bisa meningkat. Selama ini, masih banyak penyandang disabilitas yang belum bisa memanfaatkan hak pilihnya.
Komisioner KPU Kota Yogyakarta Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Partisipasi Masyarakat dan Sumber Daya Manusia Frenky Argitawan Mahendra menyampaikan, target partisipasi penyandang disabilitas di Kota Yogyakarta dalam Pemilu 2019 itu sebesar 77,5 persen. Adapun jumlah dari penyandang disabilitas yang sudah tercatat sebagai daftar pemilih tetap itu 1.700 orang.
“Kami memberikan perintah pada KPPS (Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara) atau TPS (Tempat Pemungutan Suara) untuk memfasilitasi penyandang disabilitas terkait akses. Kami banyak melakukan sosialisasi kepada penyandang disabilitas melalui organisasi-organisasi yang ada,” kata Frenky, dalam sosialisasi terhadap Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI) Kota Yogyakarta, di Kecamatan Wirobrajan, Kota Yogyakarta, Minggu (17/2/2019).
Frenky mengharapkan agar partisipasi para penyandang disabilitas bisa ditingkatkan dari setiap penyelenggaraan pemilu. Ada berbagai upaya yang dilakukannya guna memfasilitasi para penyandang disabilitas menggunakan hak pilihnya.
“Tentu keinginan kami semuanya bisa terlibat. Semoga partisipasinya bisa meningkat. Kami ada relawan demokrasi yang memiliki basis khusus membantu penyandang disabilitas. Kami juga akan bekerja sama dengan organisasi-organisasi penyandang disabilitas,” kata Frenky.
Tidak cukup
Ketua HWDI Kota Yogyakarta Winarsih mengungkapkan, sosialisasi tentang bagaimana menggunakan hak pilih saja tidak cukup untuk meningkatkan partisipasi penyandang disabilitas dalam pemilu nanti. Menurut dia, kemudahan mengakses TPS justru menjadi persoalan yang harus diperhatikan oleh pihak penyelenggara.
“Tidak semua keluarga dari penyandang disabilitas itu bisa mendampingi mereka untuk datang ke TPS. Tidak semuanya juga punya mobilitas atau alat pendukung yang membantunya bisa datang ke TPS. Masih banyak yang belum terjangkau,” kata Winarsih.
Yuli Alfianto (49), pendamping penyandang disabilitas, mengatakan, terkadang TPS itu juga belum ramah terhadap penyandang disabilitas. Ada anak tangga yang harus dilalui oleh pemilih sebelum masuk ke bilik pemungutan suara. Padahal, bagi tuna daksa atau tuna netra, menaiki anak tangga itu menyulitkan.
“Paling tidak harus ada jalan tanjakan yang rata. Anak tangga ini berbahaya bagi mereka jika tidak ada pendampingnya. Setidaknya bilik pemungutan suara harus ada di tempat yang datar, atau kalau tidak tanjakan itu dibuat sedikit rata sehingga bisa dilalui kursi roda,” kata Yuli.
Winarsih menyarankan agar KPU Kota Yogyakarta proaktif dalam mendorong penyandang disabilitas untuk menggunakan hak pilihnya. Khususnya, bagi mereka yang sama sekali tidak bisa datang ke TPS.
“Mungkin bisa diperbanyak jumlah relawan. Sewaktu hari pemilihan, yang tidak bisa datang ke TPS, bisa didatangi. Ada pendataan terlebih dahulu bagi mereka yang tidak ada keluarga yang bisa mendampingi ke TPS,” kata Winarsih.
Winarsih menambahkan, persoalan lain yang dihadapi, yaitu kurangnya informasi atas para calon legislatif yang bakal dipilih. Banyak yang tidak dikenali sehingga membingungkan mereka. Keengganan pun muncul karena sebagian merasa tidak mengalami perubahan dalam kehidupannya setelah memberikan suaranya kepada calon tertentu.
“Masih sulit mengubah pola pikir mereka. Ada yang berpikiran tak perlu menggunakan hak pilih karena tidak merasakan dampak dari pemilu. Sulit sekali mengubah pemikiran seperti itu,” kata Winarsih.
Keengganan pun muncul karena sebagian merasa tidak mengalami perubahan dalam kehidupannya setelah memberikan suaranya kepada calon tertentu.