Aisyiyah dan Sosok Fatmawati
Ibu negara pertama RI, Fatmawati, menjadi cermin dari hasil kaderisasi Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah. Sosok Fatmawati juga mengingatkan agar perempuan tak diabaikan dalam dakwah.
Tanwir Muhammadiyah di Bengkulu telah ditutup Wakil Presiden Jusuf Kalla pada Minggu (17/2/2019). Acara itu menghasilkan 8 risalah pencerahan dan 9 rekomendasi pemikiran strategis Muhammadiyah untuk bangsa.
Salah satu yang menonjol dari tanwir kemarin adalah adanya penekanan pada penghargaan terhadap perempuan. Dalam poin pertama risalah pencerahan, antara lain dinyatakan, ”...menghormati harkat martabat kemanusiaan laki-laki maupun perempuan....”
Penghargaan terhadap perempuan memang telah menjadi bagian dari sejarah Muhammadiyah dan ikut mewarnai pergerakan persyarikatan itu. Organisasi perempuan Aisyiyah, yang merupakan salah satu organisasi otonom di Muhammadiyah, sejak awal didesain untuk menjadi rekan bagi Muhammadiyah yang pengurusnya lebih banyak laki-laki. Aisyiyah dikelola kelompok perempuan yang berhimpun di bawah Muhammadiyah.
Kesetaraan dan penghargaan terhadap perempuan ini, menurut Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Aisyiyah Noordjannah Djohantini, dinyatakan dengan pemberian hak khusus kepada Aisyiyah. ”Aisyiyah merupakan organisasi otonom khusus. Khusus dalam hal ini berarti Aisyiyah diberi hak untuk memiliki dan membentuk amal usaha dan kegiatan apa pun yang sama dengan yang dilakukan Muhammadiyah selagi hal itu memungkinkan,” ujarnya, Jumat (15/2/2019).
Hak istimewa itu dibuktikan Aisyiyah dengan mendirikan sejumlah sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, dan poliklinik. Amal usaha yang dikelola Aisyiyah praktis sama dengan yang dimiliki Muhammadiyah.
Apa pun yang dibentuk dan didirikan Muhammadiyah juga bisa dilakukan Aisyiyah. Namun, tetap ada perbedaan. ”Bedanya, kami dengan Muhammadiyah, kalau kami memiliki taman kanak-kanak dan pendidikan anak usia dini (PAUD), sedangkan Muhammadiyah tidak memiliki satu pun. Tampaknya ada semacam pemahaman bahwa khusus TK dan PAUD adalah menjadi domain pengelolaan Aisyiyah,” kata Noordjannah. Dia menambahkan, tercatat lebih dari 20.000 TK dan PAUD Aisyiyah tersebar di seluruh Indonesia.
Secara hukum, amal usaha di bawah Aisyiyah memang di bawah Muhammadiyah atau harus berbadan hukum atas nama Muhammadiyah. Namun, pengelolaan dan pertanggungjawaban amal usaha itu sepenuhnya oleh Aisyiyah.
Dalam mengelola amal usahanya, Aisyiyah selalu mendasarkan diri pada teologi Al Maun yang basis gerakannya adalah membantu masyarakat keluar dari kesulitan atau kegelapan. ”Motif gerakan Aisyiyah adalah dakwah, yang tujuannya membawa orang keluar dari kebodohan, ketertinggalan, dan itu semua diwujudkan melalui amal usaha,” ujar Noordjannah.
Secara organisasi, eksistensi Aisyiyah juga kuat. Dalam pergelaran tanwir, misalnya, Aisyiyah punya hak suara. Hal ini membuat Aisyiyah bisa memberikan warna dalam setiap pengambilan keputusan persyarikatan. ”Sejak Aisyiyah berdiri, kaum perempuan didorong aktif dalam kegiatan persyarikatan,” tuturnya.
Semangat Aisyiyah itu dikembangkan sejak kecil, utamanya di keluarga Muhammadiyah. Karena itu, tidak heran jika Fatmawati Soekarno, putra Hasan Din, konsul Muhammadiyah di Bengkulu, memiliki jiwa sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap orang lain. Fatmawati, yang juga ibu negara yang pertama itu, sejak usia 22 tahun telah mendampingi Soekarno dalam perjuangannya memerdekakan Indonesia.
”Unsur pendidikan keluarga yang paling memengaruhi sosok Fatmawati. Dalam usia belia, 22 tahun, ia mendampingi Bung Karno dalam masa awal republik. Bu Fatma juga aktif berdiskusi dengan ibu-ibu Aisyiyah di Yogyakarta ketika Soekarno berada di sana,” ujar Noordjannah.
Karakter
Pengurus Yayasan Fatmawati Soekarno, Sri Adini, mengatakan, Aisyiyah dan Nasyiatul Aisyiyah (organisasi pemudi Muhammadiyah) menjadi wahana pembentukan karakter. Sosok Fatmawati yang telah dikenal tegar meski usianya masih belia menjadi salah satu contoh dari hasil pendidikan karakter tersebut. Fatmawati menjahit bendera merah dan putih yang dikibarkan pada Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
”Jiwa patriotiknya tumbuh sejak belia. Dia juga tegar menghadapi dunia perjuangan bersama Bung Karno. Karakter semacam itu tentu hasil dari pendidikan yang baik,” tutur Sri Adini, yang juga pengusaha konstruksi.
Ketegaran dan patriotisme Fatmawati menjadi cermin kualitas kaderisasi dan pendidikan karakter yang dijalankan baik Nasyiatul Aisyiyah maupun Aisyiyah.
Kondisi ini membuat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhamamdiyah Haedar Nashir mengingatkan agar semua elemen persyarikatan untuk tidak mengabaikan perempuan dalam dakwah yang mencerahkan. Pelibatan aktif perempuan dan penghargaan terhadap perempuan merupakan bagian dari praktik Islam mencerahkan yang diusung Muhammadiyah dalam tanwir kali ini.
”Fatmawati tidak hanya menjadi cerminan bagi kaum perempuan, tetapi juga pelajaran bagi kaum laki-laki untuk memperlakukan perempuan secara terhormat,” katanya.