Alat Pengukur Kadar Karet Kering Kuatkan Posisi Tawar Petani
Oleh
Rhama Purna Jati
·5 menit baca
PALEMBANG,KOMPAS - Balai Riset dan Standarisasi Industri Palembang menemukan teknologi yang dapat digunakan untuk menentukan kadar karet kering bahan olahan karet. Dengan teknologi ini petani diharapkan memiliki posisi tawar yang kuat di depan pembeli maupun pabrikan dalam menentukan harga karet. Seperangkat alat ini rencananya akan diluncurkan pada Maret 2019 mendatang.
Peneliti dari Balai Riset dan Standarisasi (Baristand) Industri Palembang, Kementerian Perindustrian, Nasruddin, pencipta teknologi ini, Senin, (18/2/2019) mengatakan teknologi itu diberi nama APK3BIPA (Alat Penduga K3 Baristand Industri Palembang) 2019. Teknologi ditemukan pada tahun 2014 dengan menggabungkan empat komponen untuk menentukan kadar karet kering (K3) yang dihasilkan petani.
Empat komponen itu adalah mesin timbangan digital, mesin giling karet (creeper) yang digunakan untuk memisahkan bahan olah karet (bokar) dengan kotoran yang masih menempel, mesin pengepres untuk memisahkan kandungan air dengan bokar, dan oven untuk menyempurnakan proses pengeringan.
Nasruddin menjelaskan, alat ini bekerja dengan terlebih dulu menimbang berat sampel bokar hasil penyadapan selama tiga hari dengan timbangan digital. Kemudian, sampel bokar tersebut digiling dengan creeper sebanyak lima kali untuk menghilangkan kotoran di dalam karet.
Selanjutnya, karet ditekan dengan alat press sebanyak lima kali, langkah terakhir adalah memasukan sampel karet ke dalam oven selama 30 menit. “Skema ini digunakan untuk mengurangi kadar air di dalam karet sehingga ditemukan angka kadar karet keringnya,” katanya. Semua perangkat memang masih manual dan tidak menggunakan daya listrik untuk mengantisipasi terputusnya arus listrik saat bertransaksi.
Hasil uji coba yang dilakukan di Kantor Baristand Industri Palembang, Senin (18/2/2019), menunjukan teknologi ini mengahasilkan persentasi K3 yang tidak jauh berbeda dengan hasil pengukuran yang dilakukan laboratorium Balai Penelitian Karet Sembawa dengan laboratorium dari salah satu pabrik. “Selisihnya kurang dari 5 persen. Ini membuktikan teknologi yang kami ciptakan cukup akurat,” kata Nasruddin.
Nasruddin menerangkan, ide untuk menciptakan teknologi ini berawal dari keresahan petani yang selalu merugi saat bernegosiasi dengan pembeli. “Terkadang pedagang karet hanya menentukan K3 berdasarkan perkiraan saja. Mereka hanya melihat, memegang, dan merasakan bokar tanpa melalui kajian ilmiah,” katanya. Petani pun hanya bisa berpasrah karena mereka juga tidak memiliki alat untuk mengukur K3.
Sebenarnya, penelitian teknologi ini mulai diterapkan sejak tahun 2014. Sejumlah uji coba pun telah beberapa kali dilakukan. Adapun proses penelitian termasuk rangkaian uji cobanya menghabiskan dana hingga Rp 120 juta.
Saat harga karet masih tinggi, teknologi ini belum diminati oleh petani. Namun, saat harga karet tengah terpuruk, teknologi ini pun akhirnya dilirik petani.
Kepala Baristand Industri Palembang Syamdian menerangkan, teknologi ini akan membuat pengukuran K3 di lapangan terukur dan tertelusur. Petani pun akan memiliki pegangan dalam menentukan harga. Selanjutnya alat ini akan diajukan untuk menjalani uji kelayakan.
“Nantinya, perusahaan lain yang membuat alatnya,” ucap Syamdian. Ditaksir, seperangkat alat ini dapat dijual dengan harga sekitar Rp 10 juta per unit. Namun dia berharap ada rumusan baku untuk menentukan K3, karena dari uji coba yang dilalui sejumlah pihak memiliki rumusan yang berbeda dalam mengukur K3.
Jumirin salah satu petani dari Banyuasin mengatakan, selama ini petani sering dirugikan karena K3 hanya diukur berdasarkan perkiriaan pembeli. Dulu, tengkulak, ungkap Jumirin, sering menurunkan persentase K3 agar harga yang diterima petani rendah. “Seringkali petani menghasilkan karet dengan K3 dengan kadar 56 persen, tetapi pembeli menimbang bahwa K3 hanya 49 persen. Alhasil, petani dirugikan hingga 7 persen,” ucapnya.
Di tingkat Unit Pengolahan dan Pemasaran Bokar (UPPB) metode pengukuran K3 yang dilakukan dengan perkiraan masih terjadi hingga saat ini. Pembeli memperkirakan K3 dan memasukannya ke dalam amplop, saat lelang dimulai, amplop itu dibuka dan pembeli dengan K3 terbesar akan memenangkan lelang.
Ketua II Bidang Teknik UPPB Nasional Roizin menerangkan, alat ini memang sangat dibutuhkan bagi petani. Hanya saja , dia berharap agar akurasi dari alat ini dapat ditingkatkan. “Kalau selisih persentasi K3 antara petani dengan konsumen terlalu jauh tentu akan menimbulkan konflik. Tentu hal ini tidak boleh terjadi,” kata dia.
Kepala Bidang Pengolahan dan Pemasaran Hasil Dinas Perkebunan Sumatera Selatan Rudi Arpian menerangkan, penelitian merupakan lanjutan dari hasil pertemuan sejumlah pihak dengan Gubernur Sumsel Herman Deru, beberapa waktu lalu. Dalam pertemuan tersebut, Gubernur meminta agar ada metode yang jelas terkait pengukuran K3 sehingga petani maupun pabrikan tidak dirugikan.
Apabila teknologi ini dapat digunakan, maka rencananya akan disalurkan ke sejumlah UPPB sebagai pilot project. “Rencananya, pemerintah akan membeli 10 untuk langkah awal. Apabila berhasil akan dilanjutkan lagi,” kata Rudi.
Sampai saat ini jumlah UPPB di Sumsel mencapai 177 UPPB yang menghasilkan 6 persen karet dari total produksi karet di Sumsel yang rata-rata sekitar 1 juta ton per tahun. Rudi berharap teknologi ini dapat membantu kehidupan sekitar 570.000 keluarga petani karet di Sumsel.
Asisten Sekretaris Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Sumsel, Nur Ahmadi mengapresiasi hal uji coba ini, karena tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian yang dikeluarkan pabrikan. Sebenarnya, selama ini pihak pabrikan selalu bersikap transparan karena harga komoditas sudah ditentukan berdasarkan pasar internasional.
Indonesia pun mengacu pada SICOM (Bursa Komoditas Singapura) dalam menentukan harga karet. “Dari SICOM, kami menentukan harga karet berdasarkan K3 dan ongkos angkutan,” jelasnya.