JAKARTA, KOMPAS — Pengawasan dana swakelola perlu dilakukan dua pihak bersama-sama, yaitu pemerintah dan masyarakat. Pengawasan ketat diperlukan agar dana tersebut tepat sasaran.
Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Misbah Hasan mengatakan, masyarakat yang tidak menerima dana swakelola harus kritis dalam mengawasi penggunaan anggaran swakelola tersebut. Terutama masyarakat yang merasakan program yang dihasilkan dari dana swakelola tersebut.
”Tidak hanya seleksi saja terhadap organisasi kemasyarakatan yang dapat menjalankan program, tetapi juga pengawasan harus sangat ketat dari dua sisi,” katanya di Jakarta, Minggu (17/2/2019).
Menurut Misbah, dana swakelola yang direncanakan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ini mempunyai dua sisi, yaitu baik dan buruk. Sisi baiknya adalah peluang masyarakat sipil untuk mengelola anggaran pembangunan yang selama ini tak terkelola maksimal oleh pemerintah. Namun, ini juga bisa menjadi jebakan untuk organisasi kemasyarakatan dan kelompok masyarakat yang mengelola.
Ia menilai, dari kasus-kasus yang sudah terjadi, anggaran dengan tipe dana swakelola ini rentan pemotongan dalam pengucurannya sehingga saat tiba di masyarakat penerima sudah tidak utuh.
Kepala Badan Pelayanan Pengadaan Barang dan Jasa DKI Jakarta Blessmiyanda mengatakan, dana swakelola ini sudah bisa dikucurkan mulai tahun 2019 ini tanpa melakukan perubahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) DKI Jakarta.
Sebab, 70 persen komponen belanja langsung DKI Jakarta sudah nontender, yaitu anggaran yang bisa untuk penunjukan langsung dan dana swakelola.
”Jumlah terbesar dalam komponen ini adalah dana swakelola. Sebenarnya swakelola di SKPD ini sudah ada sejak puluhan tahun, tetapi selama ini swakelola untuk tipe I. Untuk tipe III dan IV baru tahun ini,” katanya.
Namun, karena aturan nasional mengenai dana swakelola ini merupakan aturan baru, pelaksanaannya kemungkinan belum sempurna. Dana hanya untuk kegiatan-kegiatan yang sesuai persyaratan.
Kelompok masyarakat dapat mengajukan proposal untuk dapat mengelola dana swakelola ini. Namun, kegiatan sudah ditetapkan sesuai dengan pos di APBD DKI Jakarta.
Perancangan program yang bisa dilakukan dengan dana swakelola ini diusulkan sejak awal perancangan APBD, yaitu sejak musyawarah perencanaan dan pembangunan (musrenbang). Kegiatan-kegiatan yang disetujui akan dibagi dalam cadangan swakelola dan pihak ketiga di SKPD terkait.
Tahapan selanjutnya adalah pembahasan Kebijakan Umum APBD dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS). Baru setelah KUA-PPAS disetujui, ditetapkan sasaran kelompok masyarakat penerima. Nanti masyarakat sasaran dapat mengajukan proposal sesuai rencana anggaran yang sudah ditetapkan tersebut.
Blessmiyanda mengatakan, saat ini peraturan gubernur soal standar operasional dana swakelola tengah disusun. Isinya merupakan turunan dari aturan-aturan nasional yang sudah ada, yaitu Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah serta Peraturan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Pedoman Swakelola.
Peraturan LKPP menyertakan sejumlah syarat untuk kelompok dan organisasi kemasyarakatan yang dapat menerima dana swakelola tersebut. Syarat itu di antaranya ormas harus berbadan hukum, mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, serta memiliki neraca keuangan selama tiga tahun terakhir. Adapun untuk kelompok masyarakat, syaratnya antara lain surat pengukuhan yang dikeluarkan pejabat berwenang dan memiliki sekretariat dengan alamat yang benar.