Inggit Garnasih menjadi penopang Soekarno muda saat menabuh genderang perang melawan pemerintah kolonial Belanda. Namun, catatan sejarah mengenai sosok dan kiprahnya masih minim. Agar tak semakin dilupakan, memori perjuangan Inggit bersama Soekarno dibangkitkan anak muda lewat kombinasi drama, tari, dan fotografi bertajuk “Dramaphotdance 8 Hour Non-Stop” di tanggal pertama Februari tahun ini.
Oleh
Tatang Mulyana Sinaga
·5 menit baca
Inggit Garnasih menjadi penopang Soekarno muda saat menabuh genderang perang melawan pemerintah kolonial Belanda. Namun, catatan sejarah mengenai sosok dan kiprahnya masih minim. Agar tak semakin dilupakan, memori perjuangan Inggit bersama Soekarno dibangkitkan anak muda lewat kombinasi drama, tari, dan fotografi bertajuk “Dramaphotdance 8 Hour Non-Stop” di tanggal pertama Februari tahun ini.
Sepasang pemuda berpakaian tempo dulu berjalan di trotoar Jalan Braga, Kota Bandung, Jawa Barat, Jumat (1/2/2019). Mereka adalah Maudy Widitya (22) dan Anggha Nugraha (22), yang memerankan sosok Inggit dan Soekarno.
Mengenakan kebaya bercorak bunga dan rok panjang bermotif batik, Maudy berjalan sambil membacakan naskah drama dari buku berjudul “Kuantar ke Gerbang” karya Ramadhan K. H. Buku bersampul merah itu menceritakan kisah cinta dan perjuangan Inggit bersama Soekarno.
Anggha memaknai isi buku itu dengan tarian. Gerakannya menggabungkan tari keurseus, tradisional Sunda, dan pencak silat. Dia mengenakan jas, celana sarung bermotif batik, dan peci hitam. Aksi keduanya diabadikan dalam rekaman foto hasil jepretan Khairizal Maris (31).
Pertunjukan kombinasi di bawah rintik hujan itu mencuri perhatian warga dan pengunjung di Jalan Braga. Beberapa wisatawan mancanegara pun tak ingin ketinggalan menonton dan mengabadikannya menggunakan kamera.
Sebagai presiden pertama Indonesia, nama Soekarno tentu sudah tidak asing lagi. Namun, tidak demikian dengan Inggit. Padahal, sosoknya menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan Soekarno melawan penjajahan.
“Saya tahu, Soekarno itu bapak bangsa sekaligus proklamator kemerdekaan Indonesia. Tetapi, belum pernah dengar nama Inggit Garnasih?” ujar Rahmat (23), pemuda yang sedang nongkrong di kedai kopi berjejaring global asal Amerika Serikat, di Jalan Braga.
“Dramaphotdance 8 Hour Non-Stop” merupakan rangkaian kegiatan Bulan Cinta Ibu Bangsa Inggit Garnasih Tahun ke-5. Sejak 2015, Februari dideklarasikan sebagai Bulan Cinta Ibu Bangsa Inggit Garnasih oleh delapan komunitas di Jabar. Salah satunya komunitas Kelompok Anak Rakyat.
Sebagai presiden pertama Indonesia, nama Soekarno tentu sudah tidak asing lagi. Namun, tidak demikian dengan Inggit. Padahal, sosoknya menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan Soekarno melawan penjajahan.
Kegiatan ini bertujuan mengingat kembali sosok dan perjuangan Inggit Garnasih. Sebab, kiprah perempuan kelahiran Bandung 17 Februari 1888 belum banyak tercatat dalam buku-buku sejarah Indonesia. Inggit wafat 13 April 1984 pada usia 96 tahun.
“Banyak pemuda tidak mengenal sosok ibu Inggit. Padahal, dia adalah sosok penting di balik perjuangan Bung Karno (Soekarno). Memori ini harus dibangkitkan kembali agar generasi muda tidak lupa,” ujar Koordinator Kelompok Anak Rakyat, Gatot Gunawan.
Inggit adalah istri kedua Soekarno. Keduanya bertemu saat Bung Karno datang ke Bandung pada 1921 untuk melanjutkan pendidikannya di Technische Hoogeschool, kini bernama Institut Teknologi Bandung.
Soekarno yang saat itu datang bersama istri pertamanya, Oetari, tinggal di rumah Haji Sanusi, suami Inggit. Haji Sanusi bersahabat dengan Oemar Said Tjokroaminoto (pendiri Sarekat Islam), ayah Oetari.
Setelah bercerai dengan pasangannya masing-masing, Soekarno dan Inggit menikah pada 1923. Sejak saat itu, Inggit semakin intens mendampingi perjuangan Bung Karno hingga mereka bercerai pada 1943.
Pada 1929, Soekarno ditangkap pemerintah kolonial Belanda karena aktivitas politiknya di Partai Nasional Indonesia. Bung Karno dijebloskan ke Penjara Banceuy bersama rekan-rekannya, yaitu Gatot Mangkoepradja, Maskoen, dan Soepriadinata.
Inggit setia mengunjungi suaminya di penjara. Bukan hanya untuk bertatap muka atau sekadar mengantarkan makanan, melainkan juga menyelundupkan buku-buku yang dipesan Bung Karno.
“Bahkan, Inggit harus berpuasa berbulan-bulan agar kurus sehingga tidak ketahuan penjaga penjara saat menyelipkan buku di balik bajunya,” ujar Gatot.
Buku-buku itu menjadi modal Soekarno menyusun pledoi “Indonesia Menggugat” saat diadili pada 1930. Pleidoi tersebut menguraikan keadaan politik internasional dan keterpurukan masyarakat Indonesia di bawah penjajahan Belanda. Pleidoi itu kemudian menjadi dokumen politik menentang kolonialisme dan imperialisme.
Inggit menyadari, sekalipun Soekarno dan beberapa tokoh PNI lainnya dijebloskan ke penjara, perjuangan harus tetap berjalan. Dia pun aktif bertemu dengan tokoh pergerakan lainnya agar perjuangan tidak berhenti. Inggit juga harus banting tulang agar koran Persatoean Indonesia dan Fikiran Ra’jat, yang menjadi media perjuangan tetap terbit.
“Inggit bekerja sebagai penjahit, penjual jamu, bedak, dan rokok agar koran itu tetap terbit sehingga dapat terus menyuarakan gagasan kemerdekaan kepada rakyat,” ujar Gatot.
“Dramaphotdance 8 Hour Non-Stop” dimulai pukul 13.00 dari makam Inggit Garnasih di Babakan Ciparay. Dilanjutkan ke Gedung Indonesia Menggugat, Pasar Astanaanyar, dan Rumah Bersejarah Inggit Garnasih. Kemudian berakhir di Sakola Ra’jat Iboe Inggit Garnasih di kawasan Astanaanyar dengan menampilkan foto-foto selama pertunjukan.
Pertunjukan itu akan melengkapi kegiatan Bulan Cinta Ibu Bangsa Inggit Garnasih Tahun ke-5 lainnya, seperti menulis surat cinta untuk Inggit, pawai obor dan renungan menyambut hari lahir Inggit, serta ziarah ke makam Inggit.
Anggha Nugraha mengatakan, sosok Inggit tak bisa dilepaskan dari perjuangan Soekarno di masa prakemerdekaan. Meskipun keduanya harus bercerai karena Inggit tak ingin dimadu.
“Ibu Inggit memegang teguh prinsipnya walaupun imbasnya dia harus bercerai dengan Bung Karno. Namun, dia tidak menyimpan dendam,” ujarnya.
Menurut Maudy Widitya, Inggit berperan besar mendukung perjuangan Soekarno. Mulai dari membantu studi Bung Karno kuliah di Technische Hoogeschool hingga terjun langsung dalam pergerakan kemerdekaan.
“Ibu Inggit telah mengantar Bung Karno ke gerbang kemerdekaan Indonesia. Walaupun harus bercerai, dia tetap berbesar hati. Perjuangannya tidak boleh dilupakan,” ujarnya.
Gyeol Han (29), wisatawan asal Korea Selatan, sangat tertarik dengan “Dramaphotdance 8 Hour Non-Stop” tersebut. Tak kurang dari empat jam dia mengikuti pertunjukan itu dari Jalan Braga ke Gedung Indonesia Menggugat.
Han baru pertama kali datang ke Indonesia. Dari beberapa rekannya yang lebih dahulu berkunjung ke Indonesia, dia mendapat banyak cerita menarik tentang Indonesia, seperti keindahan alam, aneka makanan, dan keramahan warganya.
Selain itu, Han juga beberapa kali mendengar sosok Soekarno sebagai penggagas Konferensi Asia Afrika. “Sebelum ke Indonesia, saya sudah banyak mendengar tentang Soekarno. Hari ini saya beruntung karena melihat langsung pertunjukan Soekarno dengan Inggit. Mulai sekarang, saya juga akan mencari tahu lebih banyak tentang Inggit,” ujarnya.
Sebagai pendamping Soekarno selama dua dekade, sosok Inggit sangat layak untuk diingat. Sebab, seperti yang dituliskan Bung Karno dalam bukunya "Sarinah" : Kewajiban Wanita Dalam Perdjoangan Republik Indonesia", dengan mengutip perkataan Baba O’illah, “Laki-laki dan perempuan adalah dua sayap seekor burung. Jika dua sayap itu sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai puncak udara yang setinggi-tingginya. Jika patah satu dari dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali”.
Bahkan, Inggit harus berpuasa berbulan-bulan agar kurus sehingga tidak ketahuan penjaga penjara saat menyelipkan buku di balik bajunya