Hanya enam pekan menjelang tenggat Brexit, rakyat Inggris semakin cemas dengan masa depan negaranya. Mereka menganggap pemerintah sangat buruk menangani proses Brexit.
Kecemasan muncul karena sampai hari ini rakyat Inggris, baik yang pro Eropa maupun yang pro-Brexit, masih belum jelas apakah Inggris akan hengkang dengan atau tanpa kesepakatan pada 29 Maret 2019.
Warga pendukung Eropa mengkhawatirkan bagaimana hak mereka untuk tinggal dan bekerja di 27 negara UE seandainya Brexit terjadi tanpa kesepakatan.
Adapun warga Inggris yang pro-Brexit mengkhawatirkan impian mereka, yaitu Inggris tak lagi didikte Brussels, gagal terwujud karena lika-liku politik di parlemen dan pemerintahan.
”Sampai saat ini, saya tetap berpikir bahwa mereka (pemerintah) akan menemukan cara untuk membatalkan (Brexit),” kata Lucy Harris, warga London pro-Brexit kepada Associated Press.
Satu-satunya yang menyatukan kedua kubu adalah pandangan bahwa pemerintahan konservatif PM Theresa May telah menangani proses perundingan Brexit dengan sangat buruk. Bahkan, strategi yang dicanangkan pemerintah untuk mengantisipasi keadaan darurat ibarat lelucon bagi rakyat.
Misalnya, Pemerintah Inggris memberikan kontrak untuk mengatasi darurat suplai di bidang perkapalan kepada perusahaan yang tak pernah mengelola kapal. Downing Street juga memberikan kontrak pergantian paspor dari warna merah anggur (Eropa) menjadi warna biru (Inggris) kepada perusahaan milik Perancis-Belanda.
Pemerintah juga berjanji pada akhir Maret 2019 akan memperoleh kesepakatan perdagangan dengan 73 negara, dan ternyata yang terwujud baru beberapa, termasuk dengan Kepulauan Faroe.
Pada 2016, rakyat Inggris memberikan suara dalam referendum dengan hasil 52 persen mendukung Brexit dan 48 persen ingin tetap bersama UE. Sejak saat itu, rakyat Inggris terus terbelah.
Sejak PM Theresa May mengaktifkan Pasal 50 Traktat Lisabon pada Maret 2017, Inggris dan UE memiliki dua tahun untuk melakukan perundingan. Kedua pihak berhasil mencapai kesepakatan pada November 2018.
Namun, kesepakatan itu ditolak parlemen pertengahan Januari lalu dengan suara telak, 432 suara menolak dan 202 mendukung.
May kini berupaya membujuk Brussels mengubah kesepakatan, khususnya yang terkait backstop di perbatasan Irlandia Utara. Namun, Brussels berulang kali menegaskan tidak akan menegosiasikan kembali kesepakatan Brexit.
Dampak besar
Ketidakpastian ini membawa dampak besar bagi Inggris. Perekonomian Inggris hanya tumbuh 0,2 persen di kuartal keempat setelah pertumbuhan investasi konsisten menurun dalam setahun terakhir.
Sejumlah UU yang dibutuhkan Inggris untuk mempersiapkan Brexit masih belum dirampungkan karena langkah ke depan Inggris belum jelas.
Inggris juga masih belum memiliki kesepakatan perdagangan dengan UE pasca-Brexit, dan sampai sekarang belum jelas seperti apa tarif ataupun kendala bisnis yang akan dihadapi Inggris pasca-Maret 2019. Semua ini membuat rakyat ataupun kalangan bisnis gamang dan cemas.
”Ketidakpastian ini akan membuat pebisnis bangkrut,” kata Rod McKenzie, direktur kebijakan di Road Haulage Association, kelompok lobi para pemilik truk yang saat ini menghadapi ketidakpastian apakah mereka tetap akan diperbolehkan masuk ke negara- negara UE setelah 29 Maret. (AP/AFP/MYR)