Doddy Kurniawan Kaliri Pejuang Desa Inklusi
Keterbatasan fisik tak menghalangi Doddy Kurniawan Kaliri (44) untuk berkarya membantu sesama penyandang disabilitas. Selain aktif dalam banyak organisasi difabel, Doddy juga menginisiasi terbentuknya desa inklusi di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Berkat kerja kerasnya, kini sejumlah desa menjadi lebih menghargai penyandang disabilitas.
Doddy merupakan seorang penyandang disabilitas daksa. Sehari-hari, ia beraktivitas menggunakan bantuan kruk karena kaki kirinya didiagnosa mengalami polio. Masalah pada kaki kiri Doddy bermula saat ia mengalami demam tinggi pada usia 8 bulan.
Saat itu, Doddy dan kedua orangtuanya tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur, karena sang ayah bekerja sebagai pegawai bandar udara di kota tersebut. Setelah mengalami demam tinggi, Doddy lalu dibawa ke seorang dokter di Balikpapan.
“Dokter menyarankan saya disuntik untuk menurunkan demam. Orangtua pasrah saja dan akhirnya saya disuntik,” tutur Doddy saat ditemui Kompas, akhir tahun lalu, di Sleman.
Setelah disuntik, Doddy memang tak lagi mengalami demam. Namun, kaki kirinya justru menjadi lemas sehingga tak bisa digunakan sebagai tumpuan tubuhnya. Dia sempat menjalani sejumlah pengobatan dan terapi, termasuk di Kota Solo, Jawa Tengah, tetapi kondisi kakinya tak berubah. Tim dokter mendiagnosa Doddy menderita penyakit polio yang menyebabkan fungsi kaki kirinya mengalami masalah.
Pada akhirnya, Doddy harus menerima kondisi itu dan mesti menjalani beragam aktivitas dengan alat bantu. Meski begitu, selama menjalani sekolah di Balikpapan, Doddy mengaku tidak pernah mendapat penghinaan atau diskriminasi karena kondisinya sebagai difabel. Sehari-hari, Doddy juga terbiasa bermain dengan anak-anak lain yang bukan difabel tanpa mengalami masalah.
“Makanya waktu itu saya tidak merasa sebagai seorang difabel atau penyandang disabilitas,” kata lelaki kelahiran Balikpapan, 5 Oktober 1974, itu.
Seusai SMA, Doddy melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Teknologi (STT) Nasional Yogyakarta mulai tahun 1993. Setelah lulus, ia lalu bekerja di usaha servis komputer di Kabupaten Sleman. Perhatian Doddy pada isu disabilitas muncul pada tahun 2000-an setelah ia bertemu seorang pengurus Badan Pembina Olahraga Cacat (BPOC) Sleman. Dari pertemuan itu, Doddy lalu diajak hadir ke pertemuan yang diselenggarakan Paguyuban Tuna Daksa Sleman.
“Waktu itu, dia (pengurus BPOC Sleman) bilang, banyak teman-teman difabel yang mengalami kesulitan lebih besar daripada saya. Dia juga bilang, saya itu punya ilmu, mbok dibagi-bagi ke teman-teman difabel. Perkataan itu membuat saya berpikir, saya ini difabel tetapi belum berbuat banyak untuk orang-orang difabel lain,” ungkap Doddy yang kini membuka jasa servis komputer bersama temannya.
Desa inklusi
Sejak tahun 2004 sampai saat ini, Doddy terlibat dalam banyak aktivitas pemberdayaan penyandang disabilitas. Salah satu aktivitasnya yang menonjol adalah mendorong terwujudnya desa inklusi di sejumlah desa di Sleman. Upaya itu diawali dari Desa Sendangadi, Kecamatan Mlati, Sleman, yang menjadi tempat tinggalnya sejak tahun 2000 sampai saat ini.
Program itu bermula sekitar tahun 2013 dan awalnya didanai lembaga Handicap International (sekarang berubah nama menjadi Humanity & Inclusion). Selain di Sendangadi, program serupa juga dilaksanakan di sebuah desa di Kabupaten Kulon Progo dan satu desa Kabupaten Bantul.
Menurut Doddy, program yang didanai Handicap International itu berjalan sekitar 3-4 bulan. Program tersebut lalu dilanjutkan atas inisiasi Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (Sigab) didukung The Asia Foundation. Program yang diberi nama Rintisan Desa Inklusi (Rindi) itu kemudian menjadi bagian dari Program Peduli yang dijalankan pemerintah untuk meningkatkan inklusi sosial bagi enam kelompok marjinal, termasuk penyandang disabilitas.
Rindi tahap pertama dijalankan tahun 2015-2016, lalu dilanjutkan tahap kedua pada 2017-2018. “Tujuan utama Rindi adalah bagaimana suatu desa bisa mengambil kebijakan yang inklusif untuk penyandang disabilitas. Selama ini, kelompok penyandang disabilitas kerap terdiskriminasi, termasuk di desa,” kata Doddy yang bersama sang istri mengembangkan usaha penjualan baju secara daring.
Waktu itu, dia (pengurus BPOC Sleman) bilang, banyak teman-teman difabel yang mengalami kesulitan lebih besar daripada saya. Dia juga bilang, saya itu punya ilmu, mbok dibagi-bagi ke teman-teman difabel. Perkataan itu membuat saya berpikir, saya ini difabel tetapi belum berbuat banyak untuk orang-orang difabel lain.
Melalui program Rindi, Doddy menginisiasi terbentuknya organisasi difabel di Desa Sendangadi untuk memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas di desa tersebut. Bersama teman-teman difabel lain, Doddy juga menggelar sejumlah kegiatan, misalnya sosialisasi dan diskusi, untuk meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat desa mengenai isu disabilitas.
Menurut Doddy, upaya itu berhasil mendorong Desa Sendangadi menjadi lebih inklusif terhadap penyandang disabilitas. Salah satu indikatornya, pemerintah desa setempat telah aktif melakukan “jemput bola” untuk merekam data penyandang disabilitas yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). Selain itu, organisasi difabel di desa tersebut juga telah mendapat surat keputusan (SK) dan bahkan bantuan anggaran dari Pemerintah Desa Sendangadi.
Sejak beberapa tahun lalu, para penyandang disabilitas di Sendangadi membentuk kelompok bregada atau prajurit tradisional yang beranggotakan para difabel. Bregada difabel itu kerap terlibat mengikuti kirab dalam merti desa, upacara adat yang digelar masyarakat desa untuk mengungkapkan rasa syukur. “Bregada kami itu pakai motor roda tiga untuk kirab. Biar masyarakat bisa melihat ada organisasi difabel di desa,” ujar Doddy.
Setelah program Rindi berjalan di Sendangadi, Doddy dan teman-temannya mereplikasi program itu ke dua desa lain di Kecamatan Mlati, yakni Sinduadi dan Tirtoadi. Di dua desa itu, keberpihakan aparatur pemerintah setempat pada penyandang disabilitas telah meningkat. “Di Desa Tirtoadi, misalnya, pemerintah desanya membuat program pelatihan ternak kambing untuk penyandang disabilitas,” ujar Doddy.
Aktivitas lain
Selain merintis program desa inklusi, Doddy juga menginisiasi tempat pelatihan bagi penyandang disabilitas di Desa Tirtoadi yang diberi nama Garasi Qorry. Tempat pelatihan itu memanfaatkan garasi rumah orangtua Qorry, seorang remaja lelaki yang merupakan penyandang cerebral palsy. Di tempat itulah digelar pelatihan rutin yang melibatkan penyandang disabilitas dan warga biasa.
“Pelatihannya macam-macam, misalnya animasi, komik digital, dan membuat blog. Harapan saya, lima tahun lagi, ada teman-teman difabel yang menjadi animator, blogger, atau pembuat komik digital,” ujar Doddy.
Doddy juga terlibat aktif memberikan masukan dalam proses pembangunan coworking space (ruang kerja bersama) milik Dinas Komunikasi dan Informatika DIY. Berkat masukan Doddy dan sejumlah pihak lain, coworking space itu akhirnya dilengkapi fasilitas untuk difabel sehingga para penyandang disabilitas, termasuk murid-murid sekolah luar biasa (SLB) kerap berkunjung ke sana.
“Seperti namanya, coworking space itu punya semua komunitas, termasuk komunitas difabel. Jadi, komunitas difabel harus bisa memanfaatkan,” tutur Doddy.
Doddy Kurniawan Kaliri.
Lahir: Balikpapan, 5 Oktober 1974.
Pendidikan terakhir: STT Nasional Yogyakarta
Pekerjaan: servis komputer dan bisnis baju daring
Aktivitas sosial: pegiat pemberdayaan penyandang disabilitas
Organisasi:
Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman.
Ketua Komunitas Jogja Beda
Pembina Gerakan Kesejahteraan Tuli Indonesia (Gergatin) Sleman
Keluarga:
Istri: Darkasih (38)
Azalea Wanda Asyifa Kaliri (6)