KUPANG, KOMPAS - Terhitung sejak Oktober 2018 hingga kini, sebanyak 26 orang meninggal dan 2.191 orang dirawat akibat demam berdarah dengue di Nusa Tenggara Timur. Saat ini, semua kabupaten/kota di NTT terserang DBD. Pemerintah daerah pun menetapkan status kejadian luar biasa DBD.
Kepala Dinas Kesehatan NTT drg Dominggus Mere, di Kupang, Senin (18/2/2019), mengatakan, kasus DBD di NTT berawal dari Labuan Bajo, Manggarai Barat, pada Oktober 2018. Sejak muncul kasus itu, Dinas Kesehatan Provinsi menyurati semua kepala dinas kesehatan kabupaten/kota di NTT agar waspada menyambut musim hujan saat itu.
“Penyebaran virus dengue ini ada korelasi dengan pergeseran penduduk dari satu daerah ke daerah lain. Labuan Bajo terkenal sebagai daerah wisata, banyak orang datang dan pergi dari situ. Jika orang dari daerah tertentu sudah tertular virus dengue, kemudian digigit nyamuk Aedes aegypti atau nyamuk Aedes albopictus, virus itu menyebar ke orang lain,” kata Dominggus.
Kasus DBD tertinggi di Manggarai Barat dengan jumlah pasien 424 orang, kemudian Kota Kupang (400 kasus), Sumba Timur (366 kasus), dan Kabupaten Kupang (168 kasus). Jumlah kasus DBD terendah yakni di Rote Ndao (1 kasus), Lembata (4 kasus), dan Kabupaten Alor (5 kasus).
Adapun dari 26 korban meninggal, paling banyak berasal dari Sumba Timur, yakni 10 orang. Selain itu, Kabupaten Ende, Sikka, Ngada, Manggarai Barat, Manggarai, dan Kota Kupang masing-masing 2 korban meninggal. Sementara itu, di Manggarai Timur, Sumba Barat, Rote Ndao, dan Kabupaten Kupang masing-masing terdapat 1 korban meninggal.
Penyakit DBD merupakan penyakit lingkungan. Penyakit ini biasanya muncul pada akhir musim kemarau dan awal musim hujan. Penyebabnya adalah virus dengue dengan perantara dua jenis nyamuk, yakni Aedes aegypti dan Aedes albopictus.
Aedes aegypti dulu sering disebut jenis nyamuk yang suka hidup dalam rumah dan berkembang biak pada air bersih. Namun, sekarang nyamuk itu juga hidup di air yang kotor. Sementara itu, Aedes albopictus hidup di semak-semak basah.
Penyebaran DBD secara menyeluruh di 22 kabupaten/kota di NTT karena mobilitas penduduk dari satu kabupaten/kota ke kabupaten/kota lain yang tinggi. Untuk mengatasi penyebaran DBD, Dinas Kesehatan Provinsi NTT melibatkan seluruh komponen masyarakat.
Di Manggarai Barat, misalnya, sejak kasus DBD merebak pada Januari 2019, rapat koordinasi yang melibatkan seluruh camat, kepala desa, lurah, dan satuan perangkat daerah digelar. Hal itu untuk segera melakukan kegiatan kebersihan lingkungan, termasuk program menutup, mengubur, dan menguras.
“Setiap pagi, seluruh ASN (aparatur sipil negara) di Labuan Bajo membersihkan lingkungan yang dipimpin oleh bupati. Hasilnya, kasus DBD menurun. Selain itu, diberikan pula bubuk abate dan fogging (pengasapan),” kata Dominggus.
Soal fogging, ada dua strategi, yakni fogging fokus sampai 200 meter dari rumah penderita untuk wilayah yang belum semua warga terpapar. Setiap hari, rumah sakit mengirimkan data berisi nama dan alamat penderita DBD yang dirawatnya ke dinas kesehatan. Dari data itu, dinkes menyiapkan fogging.
Selain itu, ada pula fogging total untuk daerah yang seluruh wilayahnya sudah terpapar DBD. Hal itu juga dilakukan dengan menggandeng pihak swasta (pengusaha) dan masyarakat. Fogging total dilakukan di Labuan Bajo serta di wilayah Puskesmas Terang, sekitar 26 km dari Labuan Bajo.
Dr Asep Purnomo dari RSUD Maumere, Sikka, mengatakan, DBD muncul karena masyarakat selalu mentoleransi jentik nyamuk untuk hidup dan berkembang di dalam rumah, di pekarangan, dan di semak-semak. Jika masyarakat memiliki kepedulian, DBD tidak akan muncul.
“Kalau setiap anggota rumah tangga melakukan upaya menguras, mengubur, dan memantau setiap wadah penampung air, nyamuk Aedes aegypti tidak akan berkembang,” kata Asep.
Ia mengatakan, jumlah kasus DBD di Sikka saat ini sebanyak 100 orang, dua di antaranya meninggal. Korban terakhir meninggal pada Minggu (17/2). Korban itu bernama Mikhael Gerek (8 bulan) dari Desa Waidoko, Kecamatan Wolomarang.