JAKARTA, KOMPAS - Beneficial owner atau pemilik manfaat dari korporasi di Indonesia masih sulit ditelusuri. Padahal, pengetahuan terhadap pemilik manfaat dari korporasi ini bisa mengefektifkan penelusuran aset koruptor dan pemulihan aset akibat tindak pidana korupsi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai, Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme masih belum optimal untuk membuka data para pemilik manfaat dari korporasi.
”Di Indonesia, sering tidak tercantum namanya (pemilik manfaat dari korporasi), tetapi dia yang mengambil keputusan dan kebijakan tertinggi dalam perusahaan. Indonesia sudah punya aturannya, sehingga seharusnya dapat dioptimalkan untuk menutup celah korupsi dan membantu penegak hukum menelusuri dana yang diduga terkait tindak pidana pencucian uang,” kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif saat dihubungi dari Jakarta, Minggu (17/2/2019).
Informasi dari KPK pada tahun 2012-2017, sebanyak 73 kasus pencucian uang menggunakan korporasi dengan potensi kerugian negara Rp 4,5 triliun. Sementara itu, berdasarkan data Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) dari Januari 2002 hingga September 2017, tercatat 5.146 laporan transaksi keuangan mencurigakan terkait pencucian uang yang berpotensi dilakukan korporasi dengan nilai Rp 1.602 triliun.
Memberi manfaat
Menurut Laode, apabila Peraturan Presiden 13/2018 itu berjalan efektif, sejumlah manfaat bisa diperoleh, antara lain penelusuran aset koruptor menjadi lebih efektif dan proses pemulihan aset lebih maksimal. Peraturan ini juga akan mempersulit penyembunyian harta kekayaan hasil korupsi sehingga mampu mendorong tata kelola pemerintahan yang baik, serta membantu pencegahan korupsi dan meningkatkan transparansi sektor swasta.
Dia mencontohkan, salah satu pemilik manfaat dari korporasi yang pernah dijerat KPK adalah Soetikno Soedarjo dalam kasus dugaan korupsi pengadaan mesin pesawat di PT Garuda Indonesia yang saat ini masih disidik KPK. Contoh kasus lain ialah pengadaan KTP elektronik yang juga menunjukkan bahwa mantan Ketua DPR Setya Novanto berperan sebagai pemilik manfaat.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Dadang Trisasongko menyampaikan, terbitnya aturan terkait pemilik manfaat dari korporasi merupakan capaian yang layak diapresiasi.
Namun, pemerintah masih perlu membuat langkah konkret dari implementasi aturan tersebut. Hal ini, salah satunya, dilakukan dengan membuka daftar nama para pemilik manfaat ini kepada publik.
Hingga saat ini, kata dia, hanya Inggris yang telah membuat daftar informasi pemilik manfaat dari korporasi yang bisa diakses masyarakat.
Sebenarnya, dalam Pasal 24 Perpres Nomor 13 Tahun 2018 diatur bahwa korporasi yang tidak melaporkan pemilik manfaatnya kepada instansi berwenang dapat dikenai sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan. Namun, sanksi apa yang dijatuhkan, menurut Dadang, tak jelas disebutkan.
”Jika mengikuti prinsip memaksimalkan perampasan dan pemulihan aset untuk memberantas korupsi, implementasi untuk mewajibkan pelaporan nama pemilik manfaat korporasi dan mengolahnya menjadi sebuah data yang dapat diakses publik harus segera dilakukan,” kata Dadang.