Pemilu Serentak Bisa Tingkatkan Partisipasi Pemilih
Oleh
satrio pangarso wisanggeni
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Penyelenggaraan pemilu secara serentak diyakini mampu meningkatkan angka partisipasi masyarakat yang cenderung terus turun sejak era reformasi. Pasalnya upaya penyelenggara pemilu, partai politik, dan seluruh pemangku kepentingan lainnya, untuk menarik masyarakat ke tempat pemungutan suara, dapat terkonsentrasi pada satu hari saja, 17 April 2019.
“Kalau sekarang, pengurus parpol, caleg, timses paslon, relawan paslon bersama-sama aktif mengajak masyarakat. Kalau dulu, dalam pileg hanya parpol dan caleg dan kalau pilpres hanya timses dan relawan,” kata Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Achmad Baidowi saat ditemui di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (18/2/2019).
Partisipasi masyarakat semakin menjadi perhatian jelang Pemilu 2019. Untuk pertama kalinya, pemilih akan menentukan pilihannya untuk presiden-wakil presiden, dan anggota legislatif pusat dan daerah secara bersama-sama.
Ini berbeda dengan Pemilu 2014, saat itu, pemilu Presiden diselenggarakan tiga bulan setelah pemilu legislatif.
Isu rendahnya partisipasi masyarakat mengemuka setelah ada kecenderungan kampanye pilpres yang tidak substantif dan juga kurangnya perhatian publik dan media terhadap proses kampanye pileg. Pemilih yang memilih untuk golput dikhawatirkan meningkat, terlebih lagi, tingkat partisipasi masyarakat cenderung terus menurun sejak 15 tahun terakhir.
Berdasarkan data Litbang Kompas, sejak pemilihan presiden dilaksanakan secara langsung, tingkat partisipasi masyarakat terus menurun. Pada Pilpres 2004 putaran pertama, partisipasi masyarakat berada pada angka 78,2 persen; pada putaran kedua menjadi 76,6 persen. Pada Pemilihan Presiden 2009 berada pada tingkat 71,1 persen; dan pada Pemilihan Presiden 2014 sebesar 68,4 persen.
Di sisi lain, angka partisipasi masyarakat pada pemilihan legislatif tidak pernah setinggi Pileg 2004, yakni 84,1 persen. Angka partisipasi masyarakat malah menurun menjadi 71,0 persen pada Pileg 2009 dan sempat meningkat menjadi 75,1 persen pada Pileg 2014.
Untuk itu, Baidowi mengatakan, dalam sisa waktu yang kurang dari dua bulan, seluruh stakeholder harus bersama-sama memberikan pemahaman kepada masyarakat yang terlanjur antipati terhadap proses politik, bahwa pemilu adalah satu-satunya jalan untuk turut berkontribusi memperbaiki negara.
“Mungkin banyak yang menganggap pemilu tidak dapat mengubah keadaan. Tetapi ingat, kalau golput juga malah semakin tidak akan mengubah keadaan,” kata Baidowi.
Kaderisasi
Namun, penyelesaian tuntas permasalahan rendahnya tingkat partisipasi masyarakat ini hanya dapat dilakukan salah satunya melalui pencalonan kader-kader partai yang benar-benar dapat mewakili rakyat.
Apabila caleg-caleg yang dimunculkan oleh partai politik benar-benar berkualitas dan dekat dengan masyarakat, Baidowi juga sampaikan, dengan sendirinya, masyarakat akan lebih peduli terhadap proses demokrasi.
“Contohnya selama ini pemilih luar negeri tingkat partisipasinya rendah. Sekarang lihat, hampir seluruh caleg dapil DKI Jakarta II berdomisili di Jakarta. Coba kalau ada caleg yang sebelumnya adalah advokat yang sudah memperjuangkan buruh migran, saya kira mereka jadi lebih antusias,” kata Baidowi.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh pengamat politik dari Universitas Budi Luhur Umaimah Wahid. Ia menilai, proses kaderisasi partai yang tidak dilaksanakan dengan serius mengakibatkan para caleg yang dihasilkan tidak representatif terhadap konstituen mereka dan tidak menarik bagi calon pemilih.
“Parpol tidak boleh hanya datang ke masyarakat setiap lima tahun sekali. Bisa percuma dana triliunan rupiah yang sudah dihabiskan negara untuk menyelenggarakan pemilu,” kata Umaimah.