Pemerintah berupaya memperluas penggunaan aspal karet. Caranya, antara lain dengan mensyaratkan pemakaian aspal karet dalam kontrak preservasi jalan.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah berupaya memperluas penggunaan aspal karet. Caranya antara lain dengan mensyaratkan pemakaian aspal karet dalam kontrak preservasi jalan. Langkah ini diharapkan memperbesar penyerapan karet alam yang diproduksi di dalam negeri.
Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Perkerasan Jalan Pusat Penelitian dan Pengembangan Jalan dan Jembatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Yohanes Ronny, akhir pekan lalu, mengatakan, pemerintah telah menguji coba karet sebagai campuran aspal. Sebelum digunakan sebagai campuran aspal, karet alam mesti melalui tahap pemurnian serta proses kimiawi.
Dari penelitian, jumlah karet alam olahan yang bisa dicampurkan adalah 7 persen dari total aspal yang digunakan. ”Pengembangan aspal karet ini sejak 2015. Ini untuk menciptakan permintaan domestik terhadap karet alam yang harganya turun,” kata Ronny.
Secara teknis, tantangan penerapan aspal karet hanya soal kebiasaan.
Untuk tahun 2019, pemerintah menargetkan panjang jalan yang diperbaiki aspal karet adalah 93,66 kilometer dengan kebutuhan aspal karet 2.542,2 ton. Dengan perhitungan 7 persen dari total aspal, karet alam yang bisa diserap sebanyak 177,95 ton senilai sekitar Rp 3,15 miliar.
Kementerian PUPR mencatat, pada 2018, pemerintah telah membeli aspal karet di Sumatera Selatan dan Jawa Barat senilai Rp 7 miliar. Tahun 2017-2018, aspal karet diterapkan pada preservasi jalan antara Muara Beliti-Tebing Tinggi-Lahat sepanjang 4,37 km dari total panjang 125 km dengan keseluruhan anggaran Rp 30,55 miliar.
Menurut Ronny, secara teknis, tantangan penerapan aspal karet hanya soal kebiasaan. Sebab, penerapannya memang belum dilakukan secara masif. Meski demikian, penerapan aspal karet di lapangan tidak rumit dan bisa dipelajari.
Agar digunakan secara lebih luas, pemerintah mensyaratkan penggunaan aspal karet dalam kontrak preservasi jalan. Dengan demikian, pemenang kontrak diwajibkan untuk menggunakan aspal karet. ”Kami siap memberi pendampingan di lapangan jika diperlukan,” ujarnya.
Secara terpisah, Ketua Dewan Umum Dewan Karet Indonesia Azis Pane berpandangan, upaya pemerintah untuk menyerap karet alam melalui penerapan aspal karet patut diapresiasi. Namun, dia berharap ada upaya sistematis yang lebih mendasar agar karet alam yang dihasilkan di dalam negeri bisa lebih banyak diserap. Saat ini, Indonesia memproduksi karet alam sekitar 3,6 juta ton dalam setahun.
”Penggunaan aspal karet masih kecil. Maka, yang diperlukan adalah membangun industri dalam negeri agar karet alam lebih banyak diserap,” kata Azis.
Menurut dia, peluang untuk menyerap karet alam dalam jumlah besar adalah pada pembuatan atau pelapisan ban vulkanisir. Industri ban tidak akan banyak terpengaruh karena ban vulkanisir hanya digunakan sebagai ban belakang kendaraan, bukan ban depan. Namun, meski industri dalam negeri bisa melakukannya, ban vulkanisir malah banyak diimpor dari luar negeri, seperti Malaysia. Padahal, jika itu dikembangkan, karet alam yang bisa diserap akan mencapai 200.000 ton sampai 250.000 ton per tahun.
Bantalan karet yang digunakan di proyek konstruksi atau sebagai penahan kapal di pelabuhan ataupun conveyor belt di pabrik juga bisa dibuat dari karet alam. Namun, lanjutnya, kebanyakan malah diimpor dari luar negeri. ”Alasan bahwa karet produksi dalam negeri tidak memenuhi spesifikasi teknis itu alasan saja. Itu bukan produk karet berteknologi tinggi,” kata Azis.