Peningkatan Mutu Butuh Kolaborasi dan Keterlibatan Publik
Oleh
hendriyo widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Masyarakat diajak terlibat aktif meningkatkan mutu pendidikan Indonesia. Sebab, pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah. Lingkungan sosial dan keluarga merupakan penentu terciptanya ekosistem pendidikan agar anak dapat nyaman belajar.
“Pemerintah tidak akan mampu memperbaiki ekosistem pendidikan sendirian. Persoalan pendidikan adalah urusan yang harus diselesaikan bersama-sama,” kata pelopor Gerakan Semua Murid Semua Guru Najelaa Shihab, Senin (18/2/2019), di Jakarta.
Uji tiga tahunan Program Penilaian Siswa Internasional (PISA) 2015 menunjukkan, Indonesia berada di urutan ke-62 dari 70 negara yang disurvei. Pada tes yang menguji siswa di bidang sains, membaca, dan matematika itu, nilai siswa Indonesia hanya 403, jauh lebih rendah daripada nilai rata-rata global 493.
Rendahnya nilai PISA itu menunjukkan mutu siswa Indonesia lemah dalam bernalar serta berargumentasi lisan dan tulisan. Mutu ini cukup jika siswa Indonesia memang diharapkan sebatas menjadi pekerja kasar (Kompas, 4/12/2018).
“Porsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan memang betul 20 persen. Namun, dari jumlah itu hanya 0,6 persennya yang digunakan untuk menigkatkan mutu, sisanya digunakan untuk keperluan operasional,” kata Najelaa.
Porsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan memang betul 20 persen. Namun, dari jumlah itu hanya 0,6 persennya yang digunakan untuk menigkatkan mutu, sisanya digunakan untuk keperluan operasional.
Meskipun begitu, lanjut dia, runyamnya pendidikan di Indonesia bukan hanya disebabkan persoalan anggaran semata. Masyarakat yang abai terhadap tanggung jawab untuk turut mengawasi dan memfasilitasi pendidikan juga turut menjadi penyebab.
Jika seorang siswa di Indonesia gagal berprestasi di sekolah, hampir bisa dipastikan yang terjadi selanjutnya adalah guru dan orang tua akan saling tuding siapa yang paling bersalah. Dalam kondisi ini, mutu pendidikan susah maju karena semua pihak terlampau sibuk menyalahkan satu sama lain.
Kolaborasi
Pendidikan yang baik adalah proses kolaborasi antara pendidikan di sekolah, rumah, dan lingkungan sosial. Ekosistem pendidikan yang kolaboratif itu perlu direalisasikan agar perserta didik mendapatkan pendidikan yang layak.
“Sebuah kegagalan dalam proses pembelajaran harus dievaluasi dengan jujur agar kemajuan bisa diupayakan,” kata pendiri SMA Selamat Pagi, Julianto Eka Putra.
Di sekolah yang didirikan Julianto pada 2007 itu, proses tersulit yang dilalui guru dalam mendidik siswa adalah memahami kebutuhan khas setiap murid. "Mendirikan sekolah gratis itu satu hal, tetapi memberikan pendidikan yang layak itu hal yang lebih sulit,” ujarnya.
Mendirikan sekolah gratis itu satu hal, tetapi memberikan pendidikan yang layak itu hal yang lebih sulit.
Menurut Julianto, hal itu sebenarnya bisa lebih mudah dilakukan seandainya saja orang tua memiliki kepedulian yang sama untuk mengenali bakat dan kekurangan anaknya. “Sampai saat ini, masih banyak yang beranggapan pendidikan itu hanya urusan guru di sekolah,” katanya.
Tindakan Julianto mendirikan sekolah gratis di Batu, Jawa Timur, itu menurut Najelaa merupakan wujud kepedulian terhadap dunia pendidikan yang patut diapresiasi. Ia mengajak semua lapisan masyarakat mengambil peran dalam memajukan mutu pendidikan Indonesia.
“Pendidik dan orang yang peduli terhadap pendidikan adalah kaum romantis. Mereka bersedia menanam pohon, yang kita tidak pernah tahu kapan buahnya bisa dinikmati,” ujar Najelaa. (PANDU WIYOGA)