Pemilu Presiden dan pemilu legislatif yang digelar serentak untuk pertama kalinya di 2019, memunculkan kekhawatiran kurangnya pengawasan publik atas pemilu legislatif.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemilu Presiden dan pemilu legislatif yang digelar serentak untuk pertama kalinya di 2019, memunculkan kekhawatiran kurangnya pengawasan publik atas pemilu legislatif. Ini karena perhatian publik lebih besar pada pemilu Presiden. Salah satu implikasi dari hal tersebut, kecurangan berpotensi besar terjadi selama gelaran pemilu legislatif.
Direktur Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi saat diskusi bertajuk "Peta Kerawanan dan Antisipasi Pelanggaran Pungut Hitung di Pemilu Serentak", di Jakarta, Senin (18/2/2019), mengatakan, kecurangan berpotensi besar terjadi terutama saat penghitungan suara pileg.
Ini karena proses penghitungan hasil suara pileg di tempat-tempat pemungutan suara, 17 April 2019, dilakukan setelah penghitungan hasil suara pilpres.
"Proses penghitungan (hasil pileg) semakin lama, bahkan bisa sampai tengah malam. Perhatian yang minim ini akan menimbulkan banyak potensi pelanggaran. Di sinilah proses manipulasi suara rentan terjadi," katanya.
Selain Veri, hadir pula dalam diskusi itu, Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Fritz Edward Siregar, Wakil Direktur Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Hurriyah, Pengajar dari Fakultas Hukum Universitas Andalas Khairul Fahmi, serta peneliti dari Sindikasi Pemilu dan Demokrasi Erik Kurniawan.
Veri melanjutkan, manipulasi suara dalam pileg rentan terjadi karena ketatnya persaingan antar caleg. Selain itu, mereka mempunyai tanggung jawab membawa partainya lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold). Sebab, jika tidak lolos, percuma saja raihan suara yang diperoleh caleg.
Seperti diketahui, Pileg 2019 akan melibatkan 7.968 calon anggota legislatif DPR, 807 caleg DPD, dan sekitar 22.000 caleg DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
"Praktik (manipulasi suara) ini rawan karena model penetapan kursi caleg dilakukan secara proporsional terbuka. Para caleg harus bersaing mendapatkan suara terbanyak bahkan dari pesaingnya dalam satu partai yang sama," tutur Veri.
Mengacu pada temuan pelanggaran selama Pileg 2014, bentuk dari praktik manipulasi suara tersebut, bisa berupa jual-beli suara antar caleg, penggembosan suara yang berdampak pada penggelembungan suara caleg tertentu, hingga mengambil suara partai untuk caleg tertentu.
Kesalahan desain pemilu
Menurut Erik Kurniawan, kecurangan bisa terjadi karena ada kesalahan dalam desain pemilu serentak. Contohnya saja soal pemilihan isu. Menurut Erik, isu nasional sangat jauh berbeda dibandingkan dengan isu lokal.
"Isu lokal akhirnya tenggelam dan para caleg tak punya isu lokal yang bisa diperjuangkan," kata Erik.
Selain itu, lanjut Erik, dalam pemilu serentak ini, ternyata tidak semua caleg mendapatkan insentif elektoral dari calon presiden-calon wakil presiden yang diusung oleh partainya. Namun di sisi yang lain, mereka tetap harus menggelontorkan dana besar untuk bisa memenangkan Pileg 2019.
"Akhirnya, mereka keep (menjaga) dana yang besar untuk nanti mengamankan, bahkan melakukan pencurian suara," tutur Erik.
Menurut Erik, potensi kecurangan ini semakin besar lewat politik uang kepada pemilih. Berdasarkan riset SPD, sekitar 60-65 persen pemilih masih permisif terhadap praktik politik uang. Di samping itu, ada sekitar 11 persen pemilih yang dapat terpengaruh suaranya oleh politik uang tersebut.
"Angka 11 persen itu lebih dari cukup untuk mengubah hasil konstelasi pileg," ujar Erik.
Penguatan pengawasan
Hurriyah pun mengingatkan kepada publik dan penyelenggara pemilu untuk memperkuat pengawasan, tak hanya pada proses pilpres, tetapi juga pileg. Penguatan pengawasan itu hendaknya dimulai dari proses penggunaan hak suara, pemungutan suara hingga penghitungan suara.
"Situasi ini menjadi tantangan pemilu serentak terutama bagi penyelenggara pemilu. Pertaruhannya adalah integritas penyelenggaraan pemilu," ujar Hurriyah.
Fritz Edward Siregar pun menyadari besarnya potensi kecurangan di pileg. Oleh karena itu, Bawaslu akan berusaha seoptimal mungkin untuk memperkuat pengawasan di tempat-tempat pemungutan suara lewat Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Selain itu, mulai 10 Maret hingga 10 April 2019, Bawaslu akan mulai melatih saksi yang disiapkan oleh partai politik. Total saksi yang akan dilatih, 28,8 juta saksi. Mereka rencananya akan ditugaskan partai di seluruh TPS, berjumlah sekitar 902.000 TPS.
"Diharapkan saksi-saksi itu setelah dilatih memiliki kemampuan untuk mengatasi potensi kecurangan yang mungkin terjadi saat pemungutan suara," kata Fritz.