PALEMBANG,KOMPAS—Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan perusahaan perkebunan kelapa sawit mulai mempersiapkan diri untuk menyambut musim kemarau. Hal ini dilakukan karena potensi kebakaran lahan terutama di lahan konsesi perkebunan cukup besar. Namun, penetapan status siaga kebakaran laha dan hutan masih menunggu hasil prediksi dari BMKG.
Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Sumsel Harry Hartanto, Senin (18/2/2019) di Palembang mengatakan sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit di Sumsel sudah mempersiapkan sarana dan prasarana untuk mencegah kebakaran lahan di lahan konsesinya. “Program pelatihan sudah dilakukan beberapa kali. Tujuannya tidak lain untuk mempersiapkan tim pemadam kebakaran untuk lebih bersiaga,” katanya.
Persiapan ini dilakukan karena menurut Harry, perusahaan akan mengalami kerugian besar bila lahannya terbakar. Apalagi membakar tanaman yang produktif. “Tidak ada satupun perusahaan yang rela perkebunannya terbakar,” katanya.
Kalkulasinya, setiap 1 hektar lahan sawit produktif yang terbakar merugikan perusahaan hingga Rp 100 juta. Angka itu berdasar biaya untuk memulai menanam sawit sekitar Rp 45 juta ditambah kerugian saat tahun berjalan mencapai Rp 55 juta.
Menurut, Harry, kebakaran yang terjadi di lahan konsesi perusahaan kelapa sawit biasanya bermula dari luar kawasan konsesi. Bara api berpotensi memasuki wilayah konsesi. “Biasanya kawasan yang terbakar adalah kawasan yang tidak bertuan dan saat terbakar mengancam konsesi milik perusahaan,” katanya.
Berdasarkan aturan, perusahaan pemegang konsesi selain menjaga kawasan konsesinya, juga berkewajiban menjaga area 5 kilometer di luar area konsesi. Itu dinilai cukup memberatkan, karena kondisi perusahaan yang terbatas sumber daya manusianya. Namun, kewajiban tersebut harus dijalankan. Untuk itu, persiapan sejak dini diperlukan agar kebakaran lahan dapat diminimalisasi.
526,57 hektar tahun lalu
Sebelumnya, Kepala Seksi Kebakaran Hutan dan Lahan dari Balai Pengendalian dan Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan Wilayah Sumatera Didik Suprijono mengatakan, berdasar hasil pemantauan lapangan petugas Manggala Agni di lapangan, kebakaran lahan di wilayah Sumatera Selatan tahun 2018 mencapai 526,57 hektar.
Area kebakaran itu tersebar di wilayah konsesi perusahaan (hak guna usaha) yakni seluas 395,95 hektar, di lahan masyarakat seluas 126,32 hektar, kawasan hutan (area penggunaan lain) seluas 2,50 hektar, dan hutan produksi seluas 1,80 hektar. Dari luasan tesebut ada 21 perusahaan kelapa sawit yang area konsesinya terbakar.
Dalam proses pemadaman, ujar Didik, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, terutama terkait ketersediaan air saat musim kemarau. Terkadang dalam petugas kesulitan menemukan sumber air. Untuk itu, Badan Restorasi Gambut, sudah menyiapkan sumur bor di tiga kabupaten yakni Ogan Komering Ilir, Ogan Ilir, dan Banyuasin.
Kepala Seksi Data dan Informasi stasiun klimatologi BMKG Sumsel, Nandang Pangaribowo mengatakan, merujuk penelitian sejak 30 tahun lalu, Sumatera Selatan akan memasuki musim kemarau pada Juni-September. Puncaknya terjadi Agustus, September, Oktober. Hanya saja, pihaknya belum bisa memprediksi kondisinya saat ini. Prakiraan secara resmi baru akan dikeluarkan Maret dan April 2019.
Menurut Nandang, saat ini Sumsel masih berada di musim hujan dan mencapai puncaknya pada Maret 2019 mendatang. Sejumlah daerah di Sumsel bahkan dilaporkan banjir karena luapan Sungai Musi.
Namun saat musim kemarau, curah hujan sangat terbatas. Bahkan, pada puncaknya, hari tanpa hujan bisa terjadi hingga 25-30 hari. Dengan kondisi tersebut, lahan akan kering sehingga risiko kebakaran lahan juga tinggi.
Salah administrasi
Kepala Bidang Penanganan Darurat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sumatera Selatan Anshori mengatakan, hingga saat ini, pihaknya masih menunggu prediksi dari BMKG terkait masuknya musim kemarau. “Setelah ada prediksi itu, baru akan ditentukan status siaga darurat melalui keputusan Gubernur Sumatera Selatan,” kata Anshori.
Keputusan ini diambil karena pada tahun 2018, Anshori mengakui ada kesalahan administrasi saat Sumsel mengambil keputusan untuk menetapkan status siaga di bulan Februari 2018. “Penetapan itu jauh lebih cepat dibandingkan datangnya musim kemarau,” katanya.