Antara Rawa Kucing dan Cipeucang (1)
Wilayah boleh bertetangga dan saling berbatasan. Dulu, bahkan kedua kota ini adalah satu kawasan di bawah Kabupaten Tangerang. Saat berkembang dan mandiri menjadi kota yang berdiri sendiri, Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan makin moncer berkat pembangunan oleh pengembang swasta. Namun, melesatnya pembangunan kota masih kurang berkorelasi dengan cara kedua kota mengelola sampah yang diproduksinya sendiri.
Meskipun belum dikatakan memadai untuk mengelola semua produksi sampah warganya, di Kota Tangerang sudah ada fasilitas pusat pengolahan sampah yang cukup mumpuni. Baru dikembangkan secara serius sejak 2014, TPA Rawa Kucing di Kedaung Wetan, Neglasari, kini menampung sebagian sampah dari rumah tangga dan pasar di Kota Tangerang.
Pemerintah Kota Tangerang melalui dinas lingkungan hidup mengelola dan memproses akhir sampah tersebut di atas lahan TPA seluas 32 hektar tersebut.
”Awalnya lahan di TPA hanya 20 hektar dan selanjutnya dikembangkan menjadi 32 hektar setelah dilakukan pembebasan lahan,” kata Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) TPA Rawa Kucing Diding Sudirman, Senin (18/2/2019). Ia didampingi Kepala Tata Usaha UPT TPA Rawa Kucing Marsan, yang mengawali menata taman di kawasan TPA Rawa Kucing ini.
Dari luas lahan TPA, di antaranya untuk tempat penampungan sampah seluas 15 hektar, seluas 2 hektar untuk penghijauan, untuk pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) seluas 7 hektar, dan sisanya untuk tempat pemrosesan akhir sampah, seperti pembuatan kompos, kolam air lindi, kolam resapan, dan pembibitan.
Tempat penampungan sampah, yang selanjutnya diproses hingga menghasilkan produk akhir sampah, dibagi dalam lima sel atau zonasi. Sekarang ini, zona landfill G, tempat penampungan sampah dan pengolahan sampah, sudah penuh dan sedang dilakukan proses sanitary landfill.
”Kami lagi mencoba sistem sanitary landfill dengan menggunakan membran (terbuat dari plastik) untuk menutupi tumpukan sampah yang sudah penuh di tempat ini. Sementara di zona landfill B yang sudah penuh juga telah dilakukan proses sanitary landfill, yakni menutupnya dengan tanah,” kata Diding.
Sejauh pengamatan, proses pengolahan sampah sistem sanitary landfill di zona G sedang berlangsung. Di tempat itu, tumpukan sampah diolah dengan menggunakan penutup, seperti terpal plastik, di atasnya. Sementara di zona B, tanah sebagai penutup sistem sanitary landfill telah ditumbuhi tanaman.
Untuk zona A, proses penampungan sampah masih aktif. Sejauh pengamatan, tumpukan sampah tertata dengan baik sehingga tidak berceceran di jalanan yang sudah dibeton.
Dalam sehari, kata Diding, sebanyak 1.100-1.300 ton sampah dari 104 kelurahan se-Kota Tangerang yang masuk ke TPA Rawa Kucing ini. Sampah tersebut diangkut dengan 28 rit truk pada malam hari dan 360 rit truk pada pagi hingga sore hari. Juga ditambah sampah diangkut dengan 40 truk amrol.
Diding mengatakan, PLTSa akan dikelola oleh Badan Usaha Milik Daerah Kota Tangerang, yakni PT TNG. Lahan untuk PLTSa ini berada di TPA Rawa Kucing. Namun, karena investasinya besar, dikelola oleh BUMD.
Selain tempat penampungan dan taman, dalam kawasan ini juga terdapat kolam air lindi yang diolah melalui teknologi instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dan ditampung dalam kolam. Kolam tersebut dimanfaatkan untuk memelihara ikan lele dan nila.
”Alhamdulillah, ikannya tidak mengandung bahan berbahaya dan layak dikonsumsi,” kata Diding.
Di tempat itu juga dibangun rumah joglo untuk beristirahat sembari menikmati kopi, teh, dan mi instan. Selain itu, juga terdapat kompor gas, dan gas tersebut diperoleh dari instalasi gas metan yang berasal dari tumpukan sampah.
”Dulunya, gas metan itu dialirkan ke rumah warga sekitar TPA. Akan tetapi, saat ini, gas tidak dialirkan ke rumah warga karena beberapa pipanya bocor,” kata Diding sembari menunjukkan kompor gas yang terbuat dari bedi yang sedang menyala. Api yang keluar hampir tidak terlihat dan sesekali muncul api warna biru.
Di tempat ini, tahun 2016, direncanakan dibangun pengolahan sampah yang menghasilkan bahan bakar untuk kendaraan bermotor yang disebut pirolisis. Bangunan sudah berdiri, tetapi hingga kini telantar karena tidak jelas kelanjutan proyek dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral tersebut.
Daripada tidak jelas peruntukannya, akhirnya gedung itu kami jadikan sebagai tempat pembibitan ketapang kencana, tabebuya, beringin, dan mahoni, serta tanaman lainnya. Lokasinya berada di samping tempat pengolahan kompos.
Di tempat itu juga terbangun Gunung Ambekan, yaitu sebuah bukit yang penuh berbagai tanaman dan pepohonan, yang di bagian tertingginya terbangun sebuah rumah joglo. Bukit itu terbangun dari sampah yang sudah lama.
”Karena tanahnya berasal dari sampah, ada juga yang dari plastik yang tidak terurai, makanya kalau panas terik seperti siang ini, beberapa daun tanaman akan layu. Seperti daun ini,” kata Diding sembari menunjuk tanaman bunga berdaun warna merah kecoklatan.
”Di TPA ini (Rawa Kucing) tidak ada lagi kesan kumuh, apalagi bau. Akan tetapi, hijau dan asri. Sekarang, banyak kupu-kupu berwarna-warni dan capung beterbangan di taman. Ini pertanda udara di sini bersih,” tutur Diding lagi.
Kupu-kupu beraneka warna dan capung beterbangan saat Kompas melintasi jalan setapak yang rindang dan di beberapa tempat terdapat kolam.
Di tempat ini juga juga pernah diuji coba ditaburi ampas kopi di antara tanaman dan pohon. Alhasil, ampas kopi itu bisa meredam bau dan menjadi pupuk organik bagi tanaman dan pepohonan.
”Sudah lama, kami tidak menggunakan ampas kopi lagi. Sebab, ampas kopi tersebut diambil dari pabrik kopi yang berada di wilayah lain (di Kabupaten Tangerang). Sempat dipertanyakan kenapa harus mengambil ampas kopi (sampah) dari daerah lain. Sebab, dalam perda tidak mengatur hal itu,” tutur Diding.
Marsan mengatakan, tanaman dalam taman tidak hanya pepohonan yang tinggi, tetapi juga dilengkapi tanaman bonsai dari berbagai jenis tanaman. Variasi tanaman tersebut untuk memperindah taman dalam kawasan TPA.
”Sejak 2014 dan 2015, kawasan TPA ini mulai ditata dengan menghadirkan taman. Kawasan ini ditata sedemikian rupa agar tidak terkesan kumuh, kotor, dan bau. Sekarang, kawasan ini sudah makin hijau, rindang, dan sejuk. Tidak kotor, tidak kumuh, dan tidak bau lagi. Enak dipandang,” tutur Marsan.
Sejak itu, Pemerintah Kota Tangerang menjadikan TPA Rawa Kucing sebagai tempat wisata edukasi dan rekreasi.
”Tahun 2018, jumlah pengunjung dalam seminggu mencapai 4.000 orang. Karena itu, kami membatasi jumlah pengunjung,” kata Marsan.
Setelah bisa bernapas lega melihat TPA Rawa Kucing, meskipun perlu dipastikan agar semua penerapan teknologi dapat berlanjut dan maksimal manfaatnya, situasi berbeda dan membuat tertekan dihadapi saat berada di TPA Cipeucang di Kota Tangerang Selatan.
Simak tulisan berikutnya soal TPA yang berdekatan dengan lokasi pengembangan kota mandiri BSD City.